Featured

Headline News

Anggota DPRD Boyolali Wreda Agung Kuncoro Serap Aspirasi Warga Lereng Merapi dan Merbabu

14 Jul 2025

larise tv

Kabar Desa

Pelaku Usaha Desa Kepuhsari Antusias Ikuti Pelatihan Branding, Keuangan, dan Marketing Digital

Narasumber Dwi Suswatiningsih dan Anita Wulan Sari saa...

  • 10 Jul 2025
  • 0

Prof. Dr. Puji Lestari, Komunikasi Hati dan Manajemen Kebencanaan Kunci Ketangguhan Masyarakat Hadapi Bencana

Print Friendly and PDF

Prof. Dr. Puji Lestari saat kunjungan di Prodi Ilmu Komunikasi FISH Univet Bantara Sukoharjo.


Prof. Dr. Puji Lestari, Komunikasi Hati dan Manajemen Kebencanaan Kunci Ketangguhan Masyarakat Hadapi Bencana

Sukoharjo- majalahlarise.com -Penanganan bencana tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Hal tersebut ditegaskan oleh Prof. Dr. Puji Lestari, M.Si, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, saat melakukan kunjungan akademik ke Program Studi Ilmu Komunikasi FISH Univet Bantara Sukoharjo, Senin (30/6/2025).

Prof. Puji Lestari saat ditemui memaparkan pentingnya pendekatan komunikasi yang terstruktur dan menyeluruh dalam menghadapi situasi bencana. Ia menyebut bahwa komunikasi dalam kebencanaan bukan hanya persoalan teknis penyampaian informasi, tetapi juga menyangkut manajemen komunikasi bencana yang mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, hingga evaluasi.

“Kebencanaan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat, media, LSM, akademisi. Karena itu, komunikasi bencana juga harus berbasis masyarakat,” jelasnya.

Lebih lanjut, Prof. Puji mengangkat contoh nyata penanganan bencana di berbagai daerah, termasuk perbandingan antara bencana gempa bumi di Yogyakarta dan Klaten dengan tsunami di Aceh.

“Ketika gempa melanda Jogja dan Klaten, masyarakatnya langsung gotong royong. Ada yang rela meninggalkan pekerjaan untuk membantu. Tapi di Aceh, penanganannya lambat karena masyarakat lebih menunggu bantuan pemerintah. Budayanya berbeda, sistemnya pun berbeda,” ujarnya.

Hal serupa ia temukan ketika melakukan riset selama hampir sepuluh tahun di wilayah Karo, Sumatera Utara. Ia menyebut bahwa karakter masyarakat yang cenderung keras dan emosional memengaruhi dinamika komunikasi saat bencana.

“Saya pernah mendengar petugas BPBD berkata kasar pada warga, ‘Mampus kau!’. Itu tidak etis, apalagi dalam situasi krisis. Akhirnya masyarakat tidak simpati, komunikasi pun terhambat. Petugas itu akhirnya dimutasi,” kisah Prof. Puji.

Menurutnya, hal tersebut menjadi bukti nyata bahwa penanganan bencana memerlukan pendekatan yang empatik, berbasis nilai-nilai lokal, dan dikelola dengan strategi komunikasi yang baik.

Tak sekadar menyampaikan teori, Prof. Puji juga aktif mendampingi penyusunan dokumen rencana kontingensi di berbagai daerah. Di Karo, misalnya, ia mendapati belum adanya regulasi dan rencana tertulis terkait mitigasi bencana erupsi Gunung Sinabung. Bersama timnya, ia mendorong lahirnya dokumen perencanaan kontingensi yang kemudian dijadikan acuan dalam peraturan daerah.

“Kami sebagai akademisi hanya mendampingi. Implementasinya tetap dilakukan pemerintah dan masyarakat. Tapi yang penting, ada inisiatif untuk membuat push-dialog dan pelatihan agar mereka siap menghadapi bencana,” tegasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Puji juga memperkenalkan Teori Komunikasi Hati, sebuah gagasan ilmiah yang lahir dari proses refleksi akademisnya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar. Teori ini berakar pada pemahaman bahwa kekuatan komunikasi berasal dari dalam diri manusia itu sendiri.

“Komunikasi hati itu tentang olah pikir dan olah rasa. Bagaimana kita berpikir positif dan mengubah perasaan negatif menjadi energi. Ini penting, apalagi saat menghadapi bencana atau tekanan hidup lainnya,” tuturnya.

Ia menambahkan, banyak orang terhambat karena menyimpan "sampah hati" seperti iri, benci, dan dendam. Dalam komunikasi hati, sampah tersebut harus dikelola agar tidak menghalangi lahirnya empati dan simpati, terutama dalam situasi krisis.

“Ketika kita bisa berdamai dengan diri sendiri, maka kita bisa menciptakan suasana damai di sekitar. Itu yang saya sebut aura positif. Dalam kebencanaan, ini penting agar kita tidak panik, bisa bangkit, dan saling mendukung,” tambahnya.

Teori komunikasi hati yang dikembangkan Prof. Puji tidak hanya sebatas konsep. Ia telah mengimplementasikannya dalam berbagai penelitian, termasuk pada penyintas kanker, korban bullying, dan mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Hasilnya menunjukkan peningkatan ketahanan mental hingga 70 persen.

“Saya juga menerapkan ini dalam kehidupan rumah tangga. Selama 30 tahun menikah dengan pasangan beda budaya, komunikasi hati adalah kuncinya. Termasuk dalam konteks komunikasi lintas budaya, teori ini sangat relevan,” paparnya.

Di akhir wawancara, Prof. Puji berharap generasi muda, khususnya mahasiswa Ilmu Komunikasi, dapat ikut berperan aktif dalam pengelolaan bencana, baik melalui media, riset, maupun edukasi masyarakat.

“Komunikasi itu bukan hanya kata-kata, tapi juga empati. Mari kita jadikan komunikasi sebagai jembatan kemanusiaan,” pungkasnya. (Sofyan)


Baca juga: Menpora dan Muhammad Hatta Apresiasi UAH International Super Series V


Tidak ada komentar:

Write a Comment

Featured