TRADISI KROBONGAN

Print Friendly and PDF

TRADISI KROBONGAN

Oleh: Aris Prihatin

SMPN 1 Manyaran, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah


Aris Prihatin


       Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang dikenal sangat toleran terhadap budaya asing yang memasuki lingkungan kebudayaan Jawa itu sendiri (Bakri, 2014). Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki dialek bermacam-macam yang ada di tanah Jawa (Herusatoto, 2008:35). 

       Hubungan antara kebudayaan Jawa dengan masyarakat Jawa dapat dilihat dari tradisi yang dilakukan oleh masyarakatnya dari jaman dahulu hingga sekarang. Tradisi mengandung sistem nilai, norma, dan aturan bermasyarakat yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup (Suwarni & Widyawati, 2015:60). 

       Tradisi Jawa merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai wujud dari warisan nenek moyangnya. Salah satu tradisi Jawa yang masih sangat dilestarikan adalah tradisi pernikahan. 

       Pernikahan merupakan suatu momen peristiwa yang dianggap sakral dan sangat berkesan. Bagi sebagian masyarakat yang sudah berusia dalam hitungan matang, menikah adalah hal yang ditunggu-tunggu pada masa itu. Pernikahan sendiri memiliki makna suatu ikatan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai sepasang suami istri yang memiliki tujuan membangun rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan keimanannya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tualaka, 2009:12). Tata cara pernikahan adat Jawa biasanya dilakukan dalam tiga tahapan yaitu tata cara sebelum, pelaksanaan, dan sesudah pernikahan.

       Prosesi pernikahan adat Jawa pada saat pelaksanan berlangsung terbagi menjadi dua bagian yaitu jemuk atau temu pengantin dan krobongan pengantin. Dalam istilah lain biasanya hari pelaksanaan ini disebut dengan istilah panggih pengantin. Bagi masyarakat umum istilah temu atau jemuk sudahlah sering didengar namun tidak untuk istilah tradisi krobongan. Tradisi krobongan ini berlangsung ketika kedua pengantin berada dipanggung kursi pengatin atau disebut kwade dalam istilah Jawa. 

       Tradisi krobongan temanten merupakan istilah dalam Bahasa Jawa tentang tradisi yang terdapat dalam acara adat pernikahan Jawa. Sesuai dengan jenisnya yaitu termasuk upacara adat, tradisi ini dilakukan dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi sebelumnya pada generasi selanjutnya. Tradisi pernikahan merupakan salah satu acara perayaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa khususnya masyarakat keraton, dimana sepasang pengantin laki-laki dan perempuan menjadi satu (Sulistiani, 2013).

       Dalam budaya Jawa, upacara pernikahan memiliki dasar yaitu berpegang pada aturan baku atau pakem yang merupakan wujud warisan tradisi dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta (Pratama dan Novita Wahyuningsih, 2018). Masyarakat yang mengembangkan tata cara pernikahan ini mulai dari tata cara pernikahan untuk masyarakat Jawa biasanya hingga masyarakat Jawa golongan bangsawan atau raja (Pringgawidigda, 2006:65) 

       Pelaksanaan rangkaian acara dalam tradisi krobongan temanten ini dilakukan secara runtut. Tata cara atau bisa disebut dengan prosesi pelaksanaan tradisi krobongan temanten ini juga memiliki makna masing-masing yang berhubungan dengan dunia pernikahan. Setiap acara dalam serangkaian prosesi ini saling berkaitan dan berupa nasihat bagi kedua mempelai. Dalam pelaksanaannya didukung dengan adanya bahan-bahan atau dalam Bahasa Jawa disebut dengan ubarampe. Ubarampe ini digunakan untuk mendukung maksud dan tujuan diselenggarakannya suatu tradisi. 

       Pandangan masyarakat merupakan suatu komponen dalam unsur penilaian yang bersifat penting terhadap sesuatu hal yang berada di lingkungannya. Hal ini dapat dikaitkan bahwa manusia hidup dalam bentuk kelompok yaitu bermasyarakat yang mana saling membutuh satu sama lainnya. Pandangan diartikan sebagai suatu proses yang mengatur dan menggabungkan data-data berdasarkan panca indra manusia untuk dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan memahami masalah yang ada di sekitar mereka (manusia) (Shaleh, 2009:110). Karena pandangan ini merupakan pendapat atau persepsi dari setiap individu dalam menilai suatu hal, maka pandangan setiap orang pun berbeda-beda. Pandangan masyarakat tidak bersifat tetap dan bisa berubah-ubah bergantung dengan perkembangan terhadap hal tersebut yang dalam hal ini pada perkembangan tradisi krobongan temanten dalam upacara adat pernikahan Jawa. Penilaian masyarakat dalam hal pernikahan ini memiliki cakupan yang luas tidak hanya seputar rumah tangga dan usia namun juga pada bidang hiburan ekonomi dan masih banyak lainnya. Hal ini merupakan sebuah fakta sosial dan kultural dimana makna yang ada dalam prosesi pernikahan tidak bersifat material namun berada dalam pemikiran individu (Susanto, 2015:243). 

       Pada era yang modern seperti ini pandangan masyarakat terhadap pernikahan sangat bermacam-macam berdasarkan latar belakang kehidupan pribadi mereka (Nofita, 2019). Bagi masyarakat desa Karangrejo sendiri pernikahan merupakan suatu hal yang sakral yang seharusnya hanya dilakukan satu kali seumur hidup. Mereka menganggap bahwa menikah adalah proses satu tingkat lebih tinggi karena sudah siap membina rumah tangga. Pandangan tersebut muncul karena latar belakang masyarakat yang masih kental dengan unsur tradisi.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top