PAGUYUPAN NGUNJUK CIU SEBAGAI SUBKULTUR KOTA SOLO

Print Friendly and PDF

PAGUYUPAN NGUNJUK CIU SEBAGAI SUBKULTUR KOTA SOLO


Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi

Guru Besar Prodi Sastra Indonesia, FIB, Universitas Sebelas Maret


Prof. Dr. Bani Sudardi


       Dalam setiap kelompok masyarakat selalu ada masyarakat under cover yaitu satu kelompok masyarakat yang memiliki aturan dan tata nilai yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Di Indonesia, misalnya kita mengenal kelompok masyarakat warok dari Ponorogo yang mengutamakan kesaktian dan ilmu kanuragan sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak memiliki istri tetapi  memelihara seorang pemuda yang disebut gemblak. Sementara itu, di daerah seperti Pati, Blora, Cepu, kita menemukan kelompok masyarakat yang disebut sebagai masyarakat Samin. Kelompok masyarakat ini memiliki tata nilai sendiri; diantaranya tidak mau menyekolahkan anaknya, tidak mau berobat ke dokter, serta tidak mau membayar pajak.

       Kita ketahui bahwa meminum minuman keras merupakan sesuatu yang secara umum di Indonesia dianggap sebagai hal yang kurang baik karena berpengaruh pada kesehatan dan perilaku. Namun demikian hal tersebut tidaklah menyurutkan orang-orang yang ingin kehidupan di kelas sehingga produksi minuman keras seperti tuak, laru, dan ciu masih terus berlanjut hingga sampai saat ini.

       Terdapat kelompok masyarakat di kota Solo yang memiliki kegemaran untuk minum-minuman keras. Di Surakarta khususnya di daerah kabupaten Sukoharjo, terdapat pusat produksi ciu yang sudah turun temurun di Bekonang, Sukoharjo. Aslinya cairan tersebut adalah bentuk bahan mentah sebelum diolah menjadi alkohol dan barang-barang lain. Namun demikian, banyak orang yang menyalahgunakan ciu tersebut sebagai minuman keras karena memang memiliki kandungan alkohol yang cukup tinggi.

       Dalam penelitian tentang gaya hidup meminum ciu, Dr. Yusana dari Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret menemukan ada 3 kelompok peminum ciu tersebut.  Hasil kajian yang disampaikan dalam Seminar Kajian Budaya 1 itu mengungkapkan bahwa produksi ciu sudah ada sejak zaman Belanda. Bahan baku ciu adalah tetes tebu, atau cairan dari tebu yang sdah tidak digunakan membuat gula. Seiring produksi gula di Indonesia, pada tahun 1925 produksi ciu mengalami peningkatan.

       Aslinya ciu tidak sepenuhnya digunakan untuk minuman keras. Ciu digunakan untuk bahan baku alkohol, bahan kecantikan, ritual, obat oles, penghangat badan, dan pupuk pupuk organik. Namun, yang paling terkenal adalah sebagai minuan keras. Alasannya mudah, harganya relatif sangat murah dibanding minuman keras branded.

       Tradisi minum ciu sudah berlangsung lama. Dalam pertunjukan tayub selalu diikuti minum ciu dan ciu muncul dalam parikan-parikan. Misalnya “ciu gambar manuk, aku melu apa entuk”, “tuku ciu sakbotole, bapak turu ketok botole”,  ngombe ciu tambule melon, malem minggu penake kelon, ngombe ciu kelebon setan, malem minggu aku arep muludan. 

       Para peminum tersebut peminum bebas. Namun, kemudian muncul kelompok-kelompok peminum ciu. Menurut kajian Dr. Yusana, peminum ciu ada 3 jenis. Pertama kelompok terpelajar dari kraton Surakarta. Kelompok ini disebut Pakempalan Ngunjuk Ciu (Kelompok Peminum Ciu) disingkat Pangunci. Kelompok ini terdiri sekelompok abdi dalem kraton setelah lelah belajar atau bermain gamelan, lalu duduk-duduk sekitar kraton. Mereka minum ciu dengan aturan tertentu, yaitu satu sloki saja dengan tambahan (trambul) makanan kecil dan daging babi. Mereka dalam minum ciu berpedoman kepada Serat Centhini tentang kondisi orang minum. Yang diambil maksimal  hanya minum dua sloki. Dalam Serat Centhini dideskripsikan tahapan-rahapan orang minum sebagai berikut.

1. Minum satu sloki  dengan ciri  eka padma sari, wajah berseri seperti bunga pada kemerahan.

2. Minum dua sloki dengan ciri dwi amartani orangnya kelihatan bersikap sopan santun.

3. Minum tiga sloki dengan ciri tri kawula busana, sudah tidak tahu sopan santu, menganggap seperti jongos menganggap diri seperti  Tuan.

4. Minum empat sloki dengan ciri catur wanara rukêm, bersikap sudah seperti kera berebut makanan. Beringas dan tidak beraturan. 

       Dalam meminum ciu kelompok ini tidak sampai mabuk karena sudah tahu batasannya. Yang dilakukan mirip yang dilakukan oleh para penabuh gamelan atau pengibing tayub yang minum ciu sekedar menghangatkan badan mencegah ngantuk. Mereka minum ciu tiap malam kamis saja. Kelompok Pangunci menimbulkan  kelompok lain yang mengikuti yaitu Paguyuban Ngunjuk Ciu (Pangunci) yang berdiri tahun 2004. Mereka masyarakat kebanyakan atau wong cilik. Mereka minum ciu pada waktu akhir pekan atau hari libur karena pada umumnya mereka pekerja berbagai sektor. Kelompok ini memiliki pimpinan yang mengontrol agar anggotanya tidak berlebihan dalam minum ciu. Mereka minum dengan memutarkan sloki ciu di antara anggotanya. Mereka ada prinsip “sak sloki diubengke”, setelah minum satu sloki segera diberikan teman lainnya. 

       Kelompok terakhir adalah kelompok bebas. Mereka minum ciu tanpa aturan. Mereka minum kapan saja dan dimana saja dan cenderung tanpa aturan yang jelas. Hampir tidak ada kontrol bagi mereka . Resiko berbuat onar ketika mabuk sering terjadi. Ciu sebenarnya bukanlah barang yang bebas dipasarkan. Namun seiring peminat peminum ciu yang masih banyak, ciu tetap dijual secara sembunyi-sembunyi. Pemasaran ciu condong pada delivery order atau warung ilegal tertentu. Produksi ciu juga sudah mengalami penyempurnaan. Ciu yang aslinya berwarna kecoklatan sudah dibuat jernih dengan aneka rasa seperti  rasa original, leci, pisang kluthuk, nanas, anggur, melon, ketan hitam. Pasarannya meliputi Solo Raya dan kota-kota sekitarnya, bahkan sampai ke Jakarta. Selama produksi ciu masih ada, kelompok masyarakat subkultur peminum ciu akan selalu ada. Tradisi minum-minuman keras sudah ada sejak zaman dahulu kala dengan berbagai bentuk dan jenisnya.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top