MAKNA FILSAFATI TOKOH WISANGENI DALAM TRADISI BUDAYA JAWA

Print Friendly and PDF

MAKNA FILSAFATI TOKOH WISANGENI DALAM TRADISI BUDAYA JAWA


Oleh: Prof. Bani Sudardi

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Dewan Pakar SENAWANGI, Jakarta


Prof. Bani Sudardi


       Sebuah karya seni merupakan sesuatu yang berkaitan dengan hajat hidup suatu masyarakat pemiliknya. Demikian juga seni pewayangan, kehadiran seni pewayangan berhubungan dengan hajat hidup masyarakat pemiliknya di mana wayang itu berkembang. 

      Di Bali kita mengenal wayang yang digunakan untuk ruwatan untuk anak-anak Bali yang lahir pada wuku wayang. Hal ini merupakan salah satu bentuk permohonan keselamatan yang dihajatkan oleh orang yang sedang diruwat. Demikian juga kita mengenal di Bali wayang Calon Arang yang bersifat magis dan sakral yang pada akhirnya untuk menggambarkan tentang peperangan antara yang jahat dan yang baik dan dimenangkan oleh unsur baik sebagai hajat masyarakat untuk mendapatkan kebaikan di dalam kehidupan.

      Dalam dunia pewayangan, khususnya yang berkembang di sekitar Yogyakarta terdapat salah satu tokoh wayang yang terkenal sakti yang bernama Wisanggeni. Tokoh ini merupakan tokoh yang kemunculannya sebagai sebuah cerita carangan atau sanggit baru dari seorang dalang. Kehadiran tokoh Wisanggeni ini pun juga tidak lepas dari suatu keperluan dalam masyarakat pemilik cerita untuk tujuan-tujuan. Sebagaimana kita ketahui, di dalam masyarakat Jawa khususnya wayang adalah salah satu bentuk doa dan permohonan terhadap masa depan yang akan terjadi. 

       Kita mengetahui bahwa ketika ada pengantin maka dipilihlah lakon tentang perkawinan Tokoh baik dengan harapan tokoh tersebut menjadi telat dan bagi pengantin untuk memiliki hidup yang baik. Untuk peristiwa kelahiran, maka dipilihlah suatu cerita yang berhubungan dengan kelahiran. Sebagai contoh, dipilihlah lakon Gatotkaca lahir dengan harapan jabang bayi yang lahir tersebut seperti Gatotkaca yang menjadi jago para dewa untuk mengalahkan musuh-musuh para dewa dan juga musuh-musuh dunia kehidupan. Gatotkaca adalah seorang Senopati yang berjuang untuk kemuliaan bangsa dan negaranya sampai titik darah penghabisan. Ini adalah salah satu harapan terhadap jabang bayi yang baru lahir agar dapat meniru atau mendapat sawab (pengaruh gaib) dari tokoh Gatotkaca yang terkenal sakti mandraguna.

       Cerita utama tentang Wisanggeni mempunyai pokok cerita ketika Arjuna dimintai tolong oleh para dewa untuk menyingkirkan musuh para dewa yang bernama Prabu Niwatakawaca. Pokok cerita yang menjadi tema utama sebenarnya diperolehnya senjata dari dewa yang bernama panah Pasopati yang keris itu nanti akan sangat berguna ketika perang Baratayuda saat Arjuna harus berhadapan dengan Karna. Cerita tentang Wisanggeni adalah cerita carangan yang merupakan kelanjutan dari cerita Arjuna Wiwaha. Cerita Arjuna Wiwaha adalah sebuah cerita yang cukup tua karena cerita ini sudah dikarang oleh Empu Kanwa pada zaman Airlangga (1019-1042). Cerita Arjunawiwaha digunakan sebagai bentuk legitimasi Airlangga yang menceritakan tentang Airlangga yang mengadakan perjuangan dengan masuk keluar hutan sebagaimana Arjuna yang bertapa untuk mendapatkan panah Pasopati dari Dewa Siwa. 

        Di dalam Arjunawiwaha, diceritakan bahwa setelah mendapatkan keris Pasopati, maka Arjuna dimintai tolong para dewa untuk mengalahkan musuh para dewa yang bernama  Prabu Niwatakawaca yang menyerang khayangan karena menginginkan untuk menikah dengan Dewi Supraba. Karena hal itu, maka Arjuna segera datang ke Kayangan untuk melaksanakan tugas dari para dewa. Untuk mengetahui kelemahan Niwatakawaca, maka dewi Supraba berpura-pura mau diperistri oleh raksasa tersebut dengan syarat agar menunjukkan kelemahannya. Terkena tipu muslihat Dewi Supraba, Niwatakaca mengatakan bahwa kelemahannya ada pada tenggorokan. Dia tidak akan tewas meskipun terkena senjata apapun, selama tenggorokannya masih utuh dan tidak mendapat serangan. Setelah mengetahui hal tersebut, maka Arjuna diam-diam memanah Prabu Niwatakawaca ketika raksasa tersebut tertawa. Tampaklah tenggorokannya dan diarahkanlah Pasopati ke tenggorokan tersebut dan akhirnya tewaslah Prabu Niwatakawaca di tangan Arjuna.

       Kisah Arjuna Wiwaha ini dilanjutkan dalam cerita tentang lahirnya Wisanggeni. Setelah menyelesaikan tugas, maka Arjuna kemudian mendapat kesempatan bersenang-senang kayangan dengan menikahi Batari Dersanala, seorang bidadari cantik putri dari para Brahma. Perkawinan ini menjadikan Dewa Srani anak Batara Guru dengan Batari Durga iri dan ingin merebut Dersanala. Dewa Serani kemudian mengadukan halnya kepada batari Durga.  Mendapat pengaduan dari anaknya, batari Durga lalu mengadukan kepada Batara Guru. Ia mendesak kepada Batara Guru agar dewi darsana lah itu dijodohkan dengan dewa Serani. Batara Guru pun segera mengambil tindakan meminta kepada Batara Brahma agar Dewi Dersanala diserahkan kepada Batara Guru. Ternyata Dewi Dersanala sudah hamil akibat pernikahannya dengan Arjuna. 

       Batara Guru meminta kepada Batara Brahma agar bayi yang di dalam kandungan itu dikeluarkan. Batara Brahma kemudian mengambil tindakan dengan memaksa bayi yang ada di dalam perut Dewi Dersanala agar segera lahir. Cara yang ditempuh dengan menghajar Dewi Dersanala. Akibat tindakan Batara Brahma itu, lahirlah bayi yang masih kecil itu secara prematur. Bayi tersebut kemudian dibuang ke kawah Candradimuka dengan maksud agar hancur lebur. 

       Tindakan Batara Brahma yang kejam itu tidak dapat diterima oleh Sang Hyang Wenang. Dewa paling kuat dalam dunia pewayangan tersebut kemudian masuk ke dalam tubuh bayi tersebut sehingga bayi yang seharusnya hancur lebur tersebut menjadi selamat dan makin kuat.  Anak tersebut diberi nama Wisanggeni yang berarti racun dari api. 

Kehadiran Wisanggeni tidak sampai Perang Bharatayudha. Menjelang perang Wisanggeni mendapat pusaka gada inten dari Sang Hyang Wenang untuk menghancurkan Batara Kala, Batari Durga, dan Dewa Srani sebagai syarat kemenangan Pandawa. Setelah Batara Kala, Betari Durga, dan Dewa Srani  hancur, maka Wisanggeni pun muksa ke kahyangan Sang Hyang Wenang.

       Kehadiran Wisanggeni dalam cerita wayang berkaitan dengan falsafah budaya Jawa. Wisanggeni adalah simbol dari api sehingga kehadiran bisa Geni di pihak pandawa adalah simbol dari kelengkapan kehidupan. Dalam budaya Jawa bahwa anasir tanah, air api, dan angin merupakan suatu anasir yang sangat penting. Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa raja adalah simbol dari tanah karena raja berada di daratan, simbol air dimunculkan dalam bentuk hubungan Raja dengan Ratu penguasa Laut Selatan, simbol api dan udara disimbolkan dengan hubungan Kerajaan Mataram dengan Gunung Merapi yang sekaligus simbol dari adanya api dan angin. 

       Kelengkapan simbol ini menjadi sangat penting karena Pandawa dalam budaya Jawa dianggap sebagai nenek moyang mereka. Makna lain dari munculnya Wisanggeni adalah adanya pengaruh agama Islam yang menyatakan bahwa yang paling berkuasa adalah Allah. Karena itu, para dewa meskipun merupakan penguasa tertinggi di Kahyangan, tetapi dapat dikalahkan oleh Wisanggeni yang masih kecil. Hal ini merupakan implikasi dari filsafat keutuhan bahwa para dewa itu masih dapat dikalahkan oleh seorang anak kecil yang mendapat perlindungan atau bantuan dari Sanghyang Wenang. Dalam budaya Jawa, Sanghyang Wenang adalah simbol dari kekuatan Tuhan yang selalu membela kebenaran. Unsur Sanghyang wenang ini menjadi semakin lengkap ketika dalam serat Parama Yoga disebutkan bahwa batara Guru, Semar, dan Togok adalah masih satu saudara yang tunggal. Mereka adalah anak Sang Hyang Wenang yang berarti bahwa di atas para dewa masih ada penguasa lain, dan Batara Guru adalah seorang Dewa yang memiliki counter atau pesaing dewa lain yang bernama Sanghyang Ismaya atau Semar dan Teja Mantri atau Togog.

       Demikianlah kemunculan Wisanggeni tidak lepas dari falsafah budaya Jawa. Wisanggeni adalah melengkapi anasir-anasir yang dipercaya ada di dalam seorang raja. Wisanggenit juga memiliki falsafah tentang keilahian. Dalam hal ini tampaknya orang Jawa tidak mendudukkan Batara Guru sebagai Dewa tertinggi, melainkan dewa yang kekuasaannya masih di bawah Sang Hyang Wenang. Batara Guru juga memiliki kekuasaan yang ada pesaingnya yaitu Semar dan Teja mantri.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top