STRATEGI KEBUDAYAAN SULTAN AGUNG DALAM PENYUSUNAN KALENDER KEGIATAN BUDAYA
Oleh: Patricia Retno Putri Pakpahan (B0224014), Laila Nurul Khasanah (B0224082), Natasya Maharani (B0224092)
Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta
 |
Patricia Retno Putri Pakpahan (B0224014), Laila Nurul Khasanah (B0224082), Natasya Maharani (B0224092) |
Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, raja ketiga Kesultanan Mataram yang berkuasa pada abad ke-17. Ia dikenal bukan hanya sebagai sosok pemimpin yang tangguh dalam menghadapi penjajah, tetapi juga sebagai arsitek kebudayaan yang visioner. Kepemimpinan tidak hanya dibuktikan melalui perlawanan militer terhadap VOC, namun juga melalui strategi budaya yang kuat dan menyatukan. Salah satu warisan budaya paling penting yang diciptakannya adalah Kalender Jawa, yang mengandung “roh jawa” sekaligus menjadi bentuk nyata dari akulturasi budaya antara unsur-unsur Hindu, Islam, dan tradisi Jawa asli.
Pembuatan Kalender Jawa oleh Sultan Agung bukanlah tindakan sembarangan, melainkan bagian dari strategi besar untuk menyatukan rakyat Mataram dalam satu sistem waktu yang mencerminkan identitas mereka sendiri. Dalam masa itu, dominasi budaya kolonial mulai menyusup melalui berbagai cara, termasuk melalui Kalender Gregorian yang diperkenalkan oleh Belanda. Sultan Agung menyadari bahwa budaya adalah benteng pertahanan nonfisik yang sangat kuat. Maka dari itu, ia mengembangkan kalender sendiri yang bukan hanya mencerminkan sistem penanggalan, tetapi juga menyusun ritme kehidupan masyarakat Jawa secara menyeluruh baik dalam aspek ekonomi, spiritual, sosial, hingga religius.
Kalender Jawa disusun dengan menggabungkan sistem penanggalan Islam (Hijriah) dan kalender Hindu-Jawa (Saka). Tahun awal Kalender Jawa tetap dimulai dari tahun Saka sebagai warisan Hindu, tetapi sistem bulan dan hari disesuaikan dengan unsur Islam. Nama-nama bulan seperti Rabiul Awal diubah menjadi Mulud, Sya’ban menjadi Ruwah, dan Muharram menjadi Suro. Begitu pula hari-hari seperti Ahad disebut Ngad, Jumat menjadi Sukra, dan lainnya tetap mempertahankan nuansa lokal. Penyesuaian ini dimaksudkan agar masyarakat Jawa tetap dapat menjalankan ajaran Islam sekaligus mempertahankan kebiasaan tradisional mereka.
Salah satu keunikan dalam Kalender Jawa adalah keberadaan sistem pasaran, yakni siklus lima hari yang terdiri dari Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Sistem ini telah ada dalam tradisi Jawa sejak sebelum Islam datang, dan masih digunakan untuk menentukan hari pasar, hari baik dalam ritual, hingga perhitungan hari lahir dan kematian. Sultan Agung tetap mempertahankan sistem ini sebagai bentuk kontinuitas budaya, bahkan menjadikannya sebagai tandingan terhadap sistem tujuh hari ala Belanda. Dengan demikian, kalender ini tidak hanya berfungsi secara spiritual dan religius, tetapi juga ekonomis dan praktis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Lebih lanjut, Sultan Agung mengaitkan bulan-bulan dalam kalender dengan peristiwa budaya dan religius untuk memperkuat integrasi antara ajaran Islam dan budaya Jawa. Misalnya, bulan Suro (Muharam) dianggap sebagai bulan sakral yang dihubungkan dengan peristiwa Asyura dalam Islam sebuah momen kemenangan dan pembebasan, meskipun kemudian terjadi salah tafsir di masyarakat sebagai bulan sial. Perayaan malam satu Suro dirayakan dengan kirab diam, tanpa alas kaki, sebagai simbol perenungan spiritual. Di bulan Mulud (Rabiul Awal), diperingati Maulid Nabi dengan tradisi Sekaten, yang menjadi sarana dakwah dan penyebaran Islam di kalangan rakyat. Sementara itu, bulan Ruwah (Sya’ban) dimanfaatkan untuk tradisi ziarah kubur atau sadranan, yang merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan menjadi ajang pembersihan spiritual menjelang Ramadhan.
Penyesuaian nama bulan, hari, serta penggabungan antara nilai-nilai spiritual dan budaya lokal menjadi salah satu bukti bahwa kalender ini bukan sekadar alat waktu. Sultan Agung memaknai angka-angka dalam kalendernya dengan simbolisme tertentu, seperti angka 10 yang dianggap sempurna dan digunakan dalam perayaan besar seperti 10 Muharram (Asyura) dan 10 Dzulhijjah (Idul Adha). Bahkan bulan "besar" yang identik dengan Dzulhijjah, dianggap sebagai bulan baik untuk melangsungkan pernikahan, menunjukkan bahwa kalender ini juga mengatur dinamika sosial masyarakat.
Kesalahpahaman terhadap beberapa tradisi seperti larangan menikah di bulan Suro atau kegiatan seperti pembersihan keris kerap diartikan secara keliru dengan kalender Sultan Agung. Padahal, dalam pandangan Prof. Bani dan berbagai narasumber lain, hal-hal semacam itu merupakan bentuk lokalitas yang tidak bertentangan dengan Islam selama tidak melanggar syariat. Bahkan, beberapa praktik seperti sadranan atau peringatan Maulid Nabi dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai Islam yang dikontekstualkan secara lokal.
Kalender Jawa juga merupakan alat politik Sultan Agung untuk menata masyarakat Mataram secara menyeluruh. Dengan satu sistem waktu yang mencakup hari-hari ritual, momen keagamaan, dan siklus ekonomi, masyarakat dapat menjalani kehidupan yang lebih teratur dan bermakna. Melalui kalender ini, Sultan Agung tidak hanya memerintah secara administratif, tetapi juga membentuk ketahanan budaya yang kuat terhadap pengaruh asing, terutama dari budaya Barat yang dibawa oleh Belanda.
Hingga hari ini, semangat kebudayaan Sultan Agung tetap relevan, terutama dalam hal nasionalisme dan kecintaan pada bangsa. Generasi muda memang hidup dalam konteks zaman yang berbeda, namun nilai-nilai luhur seperti integritas budaya, pemaknaan waktu, serta penghormatan terhadap tradisi tetap bisa dihidupkan. Meskipun tradisi seperti Kirab Suro atau Sekaten mungkin telah bergeser bentuknya, esensi dari kebersamaan dan spiritualitasnya masih dapat menjadi jalan untuk mendekatkan kembali nilai-nilai luhur kepada generasi sekarang.
Pada akhirnya, Sultan Agung bukan hanya seorang raja, tetapi juga seorang patriot budaya yang memahami bahwa budaya merupakan kekuatan utama dalam mempertahankan identitas bangsa. Melalui Kalender Jawa, ia berhasil merancang sistem waktu yang bukan hanya berfungsi secara teknis, tetapi juga sarat makna dan spiritualitas. Kalender ini adalah warisan berharga yang menunjukkan bahwa kebudayaan bukanlah warisan statis, melainkan hasil dari rekayasa cerdas yang berpijak pada akar tradisi dan visi masa depan. Sebagai generasi penerus, sudah selayaknya kita merawat warisan ini sebagai bagian dari jati diri bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar: