STRATEGI PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR

Print Friendly and PDF

STRATEGI PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR

Oleh: Ririn Diyah Setyaningsih, S.Si.

SD Islam Darul Falah, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas Jawa Tengah


Ririn Diyah Setyaningsih, S.Si


       Belajar merupakan proses aktif (Rodriguez, 2001). Anak belajar dengan cara mengonstruksi hal yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan yang diketahuinya, bukan menerima suatu hal dengan pasif. Pengertian ini berakar dari perspektif konstruktivisma. Konstruktivisma sendiri banyak dijumpai diberbagai bidang antara lain psikologi, filosofi, sosiologi, dan pendidikan, serta menimbulkan implikasi yang berarti dalam pembelajaran IPA.

       Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa bagaimana cara membuat siswa belajar aktif? Pertanyaan ini sangat menentukan cara mengajar dan pembelajaran IPA di SD, bahwa pembelajaran IPA tidak hanya penentuan dan penguasaan materi, tetapi aspek apa dari IPA yang perlu diajarkan dan dengan cara bagaimana, supaya siswa dapat memahami konsep yang dipelajari dengan baik dan terampil untuk mengaplikasikan secara logis konsep tersebut pada situasi lain yang relevan dengan pengalaman kesehariannya.

       Minat siswa pada IPA juga penting untuk belajar IPA yang efektif, terutama untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam berpendapat, beralasan, dan menentukan cara untuk mencari tahu jawabannya. Apabila demikian halnya, selama enam tahun siswa akan mempunyai pengalaman belajar yang bermakna sehingga pada tahap ini siswa mampu mengembangkan sikap dan nilai-nilai dari pembelajaran IPA. Siswa yang berminat pada IPA akan merasakan bahwa belajar IPA itu menyenangkan sehingga akan antusias mengenai bagaimana pelajaran IPA berimbas pada pengalaman kesehariannya (Murphy and Beggs, 2003). Bagaimana memantik minat dan motivasi pada siswa yang kurang menyukai pelajaran IPA?

       Strategi pembelajaran IPA Hands-on and minds-on approaches. Belajar efektif dengan melakukan ”aktivitas” (learning by doing). Meskipun demikian, esensi ”aktivitas” dalam pembelajaran IPA adalah ”aktivitas belajar” (Fleer, 2007). Dalam prakteknya tidak jarang bahwa ”aktivitas” (hands-on science) itu sendiri tidak disertai dengan belajar (Bodrova and Leong, 2007).

       Dalam artikelnya, Osborne (1997) bertanya secara provokatif: ”Is doing science the best way to learn science?” Oleh karena itu, guru perlu memberikan kesempatan bagi siswa untuk menginterpretasi konsep (minds-on approach) (Keogh and Naylor, 1996).

      Menempatkan siswa pada pusat proses pembelajaran. Metoda mengajar tradisional dengan pendekatan ekspositori sebaiknya mulai dikurangi. Guru yang hanya men-transmisi pengetahuan kurang menstimulasi siswa untuk belajar secara aktif. Hal ini bukan berarti bahwa metoda ceramah tidak baik, atau siswa tidak mengalami proses belajar. Variasi proses pembelajaran lebih memicu siswa untuk aktif belajar (Rodriguez, 2001).

      Menempatkan siswa pada pusat poses pembelajaran berarti memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengonstruksi hal yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan yang diketahuinya dan menginterpretasi konsep, bukan memberikan informasi melalui buku teks (Dickinson, 1997).

       Identifikasi pengetahuan awal dan kesalahpahaman siswa. Hal ini sama sekali tidak mudah karena beberapa faktor menyebabkan siswa SD tidak dapat mengartikulasi dengan baik apa yang diketahuinya. Meskipun demikian, berangkat dari apa yang siswa ketahui bermanfaat untuk menentukan rencana pembelajaran yang efektif (Harlen, 1996).

Kendala pembelajaran IPA

      Pendekatan konstruktivisma dalam pembelajaran IPA tidak mudah diimplementasikan. Persepsi mengenai peran guru di kelas, peran sekolah dalam pendidikan anak, persepsi dan harapan orang tua terhadap guru dan sekolah masih sangat kontradiktif dengan perspektif konstruktivisma dan sangat sukar untuk mengubah paradigma yang berpandangan bahwa guru adalah satu-satunya sumber belajar.

       Keterbatasan guru dalam bidang pengetahuan ilmiah dan perasaan kurang percaya diri untuk mengajar IPA merupakan kendala yang lain. Hal ini dikarenakan kebanyakan guru SD merupakan guru kelas yang mengajar beberapa mata pelajaran (high workload). Persepsi guru terhadap IPA juga sangat menentukan pembelajaran IPA. Guru yang memandang IPA sebagai sekumpulan fakta, konsep, atau teori belaka menyebabkan pembelajaran IPA yang kurang bermakna. Walaupun guru memegang kuat komitmen untuk mendidik siswa dan memandang bahwa siswa perlu belajar IPA, guru menjadi kurang antusias dan tidak yakin akan kemampuan mereka dalam pembelajaran IPA. Hal ini kurang menstimulasi siswa untuk belajar secara aktif (Dickinson, 1997). Komitmen untuk memperbaiki proses pembelajaran IPA merupakan langkah penting dalam mewujudkan proses pembelajaran yang efektif (Tobin, Briscoe, and Holman, 1990).

       Masalah tersebut, ditambah sistem ujian akhir nasional yang sangat menekankan pada pemahaman konsep, merupakan suatu dilemma. Sistem tersebut mengakibatkan IPA diajarkan hanya sebagai sekumpulan fakta, konsep, atau teori (body of knowledge), terutama pada kelas 5 dan 6. Guru merasa perlu mempersiapkan siswa menghadapi ujian akhir nasional dengan cara drilling supaya mereka dapat tepat menjawab soal. Dedikasi guru untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa pada bidang IPA dan memberikan bekal nilai-nilai ilmiah yang terkandung dalam pembelajaran IPA menurun tajam bersamaan dengan tahap persiapan menghadapi ujian.

       Di samping itu, jumlah siswa dalam kelas merupakan kendala utama pembelajaran IPA. Jumlah siswa di atas 20 anak dalam satu kelas menyebabkan guru kesulitan untuk mengatasi masalah perbedaan kemampuan individu. Contoh kendala lain adalah ketersediaan waktu; ketidakcocokan antara kurikulum, pembelajaran, dan evaluasi; keterbatasan sumber belajar; pola hubungan antara guru dan siswa; dan lain-lain.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top