Sanggar Asto Kenyo, Warisan Seni Tatah Sungging dari Kepuhsari yang Mendunia

Print Friendly and PDF

Sanggar Asto Kenyo yang berada di kampung wayang Kepuhsari Manyaran.

Sanggar Asto Kenyo, Warisan Seni Tatah Sungging dari Kepuhsari yang Mendunia

Wonogiri — majalahlarise.com - Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, sejak lama dikenal sebagai Kampung Wayang, pusat kerajinan wayang kulit yang hidup dari napas tradisi dan diwariskan lintas generasi. Dari desa inilah lahir para maestro tatah sungging yang tak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga membawa seni wayang kulit ke panggung dunia. Salah satunya adalah Sanggar Asto Kenyo milik Ibu Retno, yang berdiri sejak tahun 2002 dan kini menjadi salah satu ikon budaya unggulan di Kepuhsari.

Ditemui di sanggarnya, Ibu Retno menuturkan bahwa kecintaannya pada dunia wayang tumbuh sejak usia lima tahun. Ia lahir dan besar di lingkungan para seniman tatah sungging, sehingga seni tradisi baginya adalah bagian dari hidup.

“Di desa Kepuhsari ini sejak dulu merupakan sentra industri wayang turun-temurun. Secara tidak langsung saya lahir di lingkungan para seniman tatah sungging,” ujarnya.

Meski ketertarikan itu muncul sejak kecil, perjalanan seriusnya sebagai pengrajin dimulai awal tahun 2000-an. Setelah memiliki ruang khusus untuk berkarya, ia mendirikan Sanggar Asto Kenyo pada 2002 sebagai wadah produksi, edukasi, sekaligus pelestarian seni tatah sungging.


Baginya, menjadi pengrajin wayang bukan sekadar profesi, tetapi panggilan jiwa.

“Sebagai bagian dari masyarakat kampung wayang, saya merasa mempunyai kewajiban untuk tetap melestarikan seni tatah sungging ini yang diwariskan nenek moyang,” tuturnya.

Dalam menghasilkan satu tokoh wayang, Ibu Retno tidak bekerja sendiri. Ia menggandeng 4–5 tenaga ahli yang memiliki spesialisasi berbeda, mulai dari: Tukang ngerok kulit (penyiapan media kulit), Penatah / mahat kulit, Penyungging (ahli pewarnaan), Perajin gapit, Perakit gapit. Setiap tahapan menuntut ketelitian tinggi. Untuk tingkat kesulitan, wayang gunungan menjadi karya yang paling rumit.

“Gunungan itu sangat detail, ornamen flora fauna lengkap. Membutuhkan waktu panjang dan ketelitian tinggi,” jelasnya.

Sanggar Asto Kenyo tak hanya memproduksi wayang, tetapi berkembang menjadi destinasi wisata budaya yang banyak dikunjungi tamu nasional maupun mancanegara. Sejumlah tokoh penting, termasuk Ganjar Pranowo, para menteri, anggota legislatif, hingga perwakilan kedutaan, pernah berkunjung dan mengoleksi karya sanggar tersebut.

Untuk memperluas edukasi budaya, Ibu Retno membuka berbagai program workshop dan paket wisata yang diminati wisatawan domestik maupun asing, di antaranya: Workshop menatah wayang, Teknik pewarnaan (sungging), Melukis kaca, Bermain gamelan, Bermain wayang, Menginap di homestay Kampung Wayang

Banyak peserta workshop yang akhirnya menjadi pelanggan tetap, bahkan memesan wayang dari luar negeri secara berkala.

Bagi Ibu Retno, melestarikan wayang bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi menjaga identitas budaya yang diwariskan turun-temurun. Ia berharap semakin banyak generasi muda yang terpanggil untuk mempelajari seni tradisi, khususnya wayang kulit yang telah menjadi wajah dan kebanggaan budaya Jawa.

Sanggar Asto Kenyo menjadi bukti bahwa seni tradisional tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga bersinar di mata dunia ketika dirawat dengan cinta, ketekunan, dan komitmen pada warisan budaya. (Danu)


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top