Belajar Arti Kepahlawanan dari Naskah Kuno, Pesan Asep Yudha Wirajaya untuk Generasi Z

Print Friendly and PDF

Jagongan RRI Surakarta bersama Asep Yudha Wirajaya, S.S., M.A. membahas topik bertajuk Ketika Naskah Kuno Berbicara tentang Kepahlawanan. Senin (10/11/25). (Foto: Intan Pinasti Hanifah)


Belajar Arti Kepahlawanan dari Naskah Kuno, Pesan Asep Yudha Wirajaya untuk Generasi Z

Surakarta — majalahlarise.com - Dalam rangka memperingati hari Pahlawan pada 10 November, program dialog Jagongan RRI Pro 4 Surakarta membahas topik menarik bertema Ketika Naskah Kuno Berbicara tentang Kepahlawanan. Acara ini mengundang salah satu dosen Filologi Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret, yaitu bapak Asep Yudha Wirajaya, S.S., M.A. sebagai narasumber. 

Dipandu oleh Rizal Fahlevi, siaran langsung ini berlangsung seru karena membahas seputar nilai kepahlawanan dalam naskah kuno. Asep menjelaskan bahwa nilai-nilai kepahlawanan tercermin dalam bentuk perlawanan para ulama zaman dahulu dengan tidak menggunakan kertas Eropa dan huruf latin pada naskah kuno. Para ulama lebih memilih menggunakan aksara lokal atau aksara arab yang kita kenal juga dengan aksara pegon. 

Sesi pertama acara ini lebih membahas tentang perlawan-perlawanan yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya di Jawa. Asep menyatakan bahwa perlawanan-perlawanan pasca Indonesia merdeka masih terkait dengan perlawanan yang dilakukan sebelum-sebelumnya. Lalu, pelajaran yang dapat diambil tentang nilai kepahlawanan zaman dahulu jika dilihat di era sekarang adalah tentang niat. 

Seperti yang diungkapkan Asep “Pelajaran paling penting adalah niat. Para ulama zaman dahulu niatnya masih tulus. Hal inilah yang membedakan kita hari ini dengan beliau-beliau yang pada waktu lalu. Saya kira niatnya perlu kita luruskan untuk kehidupan yang lebih baik” 

Perspektif Pahlawan Zaman Sekarang

Sesi kedua setelah istirahat dilanjut dengan pembahasan seputar pahlawan dari perspektif di zaman sekarang. “Pahlawan itu bisa siapapun yang memiliki niat dari hati, berpikir dengan nurani, dan bekerja untuk kebaikan bersama. Bisa guru yang mengajar dengan hati, bisa petani yang menjaga bumi, pemuda yang berani menolak korupsi, kemudian rakyat kecil yang tetap jujur di tengah godaan zaman. Jadi tidak harus seseorang dengan jabatan tertentu yang bisa disebut pahlawan” jelas Asep kepada Levi. 

Sri Maharani, pendengar dari Australia turut serta bergabung dalam siaran langsung ini. Sri berpendapat sebagai seseorang yang jauh dari Indonesia, ia dapat melihat dengan jelas adanya ketidaksetiaan kepada pahlawan yang terdapat dalam sejarah. Asep setuju dengan pendapat itu “Memang betul bahwa perspektif itu sangat berpengaruh. Bahkan ada pameo bahwa sejarah selalu ditulis oleh pemenang” jelasnya. 

Lebih lanjut, Asep juga mengatakan bahwa sejarah dalam naskah-naskah kuno juga ada yang ditulis oleh pihak yang kalah, salah satunya yaitu naskah Hikayat Sunan Kuning yang tersimpan di Leiden University dimana berisikan perlawanan rakyat biasa kepada kerajaan. Naskah ini dapat menjadi pembanding dengan hasil yang komprehensif, tanpa melihat dari satu sisi. 

Sejarah dan Naskah Kuno di Era Gen Z 

Pertanyaan terakhir dari Sri adalah bagaimana cara mengajarkan gen z bedanya pembela atau pengkhianat Indonesia. Asep secara gamblang menyebutkan bahwa sedikit sulit untuk mengajarkan gen z karena minimnya literasi dan lebih senang dengan audio visual. 

“Nah ini menjadi tantangan tersendiri ya. Kita juga perlu membuat konten yang sedikit menyentil mereka lah. Kalau gen z tidak peduli lagi dengan masa depan negeri ini, lalu siapa yang akan mewarisi berikutnya” ujar Asep kepada pendengar.

Dosen FIB UNS itu juga berpesan kepada semua pihak untuk merenungkan pertanyaan dari Sri Maharani. Pada era sekarang masyarakat lebih menyukai media yang lebih mudah dijangkau karena memuat informasi yang tidak terlalu panjang. Jika tidak mengikuti zaman, maka kita akan ketinggalan zaman. 

“Kita juga perlu masuk kesana. Membuat konten juga untuk gen z, karena kalau kita tidak ikut zamannya, kita akan ketinggalan. Kalau kita ditinggal oleh gen z, gen z tidak akan tahu apa-apa. Kemudian kita akan mewarisi apa kepada mereka” kata kepala Manassa Surakarta tersebut. 

Tak hanya persoalan tentang pentingnya menjaga keutuhan negeri ini, Levi menambahkan penting juga bagi gen Z untuk lebih mengenal tentang naskah kuno. Sebagai warisan budaya, naskah kuno perlu untuk dilestarikan dan dijaga dengan baik. Fakta di lapangan mengatakan bahwa peminat filologi cenderung turun. Maka, Asep menjelaskan cara paling baik untuk mengajak gen z mengenal naskah kuno adalah membawakannya dengan metode kekinian. 

Beberapa kegiatan yang sudah diterapkannya pada mahasiswa filologi di Sastra Indonesia UNS seperti mengkonversi dan mendigitalisasi naskah-naskah kuno. Pembelajaran dengan teknologi membantu mahasiswa paham cara membuat naskah menjadi bentuk digital, seperti e-book. “Kita juga mengalihwahanakan naskah menjadi musikalisasi puisi, film dokumenter, film animasi, film tari. Ini menjadi barang baru dan itu menjadi menarik” ucap Asep. 

Di penghujung acara, Asep berpesan kepada semua pendengar untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan. Permasalahan sepele yang hanya akan menimbulkan jarak diantara kita sudah melenceng dari nilai-nilai kepahlawanan itu. “Mari kita luruskan niat untuk membangun Indonesia yang lebih baik” kata Asep. 

Penulis: Septiana Aristawati, Intan Pinasti Hanifah, Intan Handayani 

Editor: Sofyan


Baca juga: MDMC Boyolali dan Surakarta Gelar Operasi Gabungan Merbabu Hijau 113, Tanam 113 Pohon di Sumber Air Tuk Suci Selo




Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top