Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Univet Bantara Gelar SIBI ICEI-2, Perkuat Jejaring Global dan Peran AI dalam Transformasi Pendidikan

Print Friendly and PDF

Pembicara Prof. Dr. Deshinta Arrova Dewi, Ph.D., M.Sc., B.Sc. (Center for Data Science and Sustainable Technologies, INTI International University, Malaysia) saat memaparkan materi dipandu oleh Wakil Rektor 1 Univet Bantara, Dr. Sri Hartati, M.P.


Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Univet Bantara Gelar SIBI ICEI-2, Perkuat Jejaring Global dan Peran AI dalam Transformasi Pendidikan

Sukoharjo — majalahlarise.com - Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Veteran Bangun Nusantara (Univet Bantara) kembali menunjukkan komitmennya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di era digital. Kamis (20/11/2025), kampus yang terletak di Sukoharjo itu sukses menyelenggarakan Seminar Internasional Berbahasa Indonesia (SIBI) ICEI-2 dengan tema besar “Artificial Intelligence (AI) for Education” bertempat di Auditorium Univet Bantara.

Acara berskala internasional ini menghadirkan pemakalah / pembicara Prof. Yinghuei Chen, PhD (Asia University, Taiwan), Prof. Dr. Deshinta Arrova Dewi, Ph.D., M.Sc., B.Sc. (Center for Data Science and Sustainable Technologies, INTI International University, Malaysia), Dr. Rimajon Sodikova (Webster University in Tashkent UZBEKISTAN), Prof. Dr. Dewi Kusumaningsih, S.S., M.Hum. (Universitas Veteran Bangun Nusantara Indonesia) serta menggandeng 11 co-host perguruan tinggi yang memperkuat jejaring kolaboratif Univet Bantara dalam riset dan pendidikan.

Pelaksanaan SIBI ICEI-2 turut didukung oleh 11 institusi mitra, yaitu Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatera, Tiga Serangkai University (TSU), Universitas Muhammadiyah Karanganyar, Universitas Muhammadiyah Buton, Universitas Islam Jakarta, Universitas Ngudi Waluyo (UNW), Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli Utara, Universitas Muhammadiyah Palopo, STKIP PGRI Trenggalek, IADU Asahan, Institut Agama Islam Darul ‘Ilmi

Keterlibatan co-host dalam jumlah besar ini memperlihatkan besarnya kepercayaan dunia akademik terhadap Univet Bantara sebagai pusat pengembangan keilmuan, khususnya dalam isu pendidikan dan teknologi kecerdasan buatan.

Acara dibuka oleh Rektor Univet Bantara, Prof. Dr. Farida Nugrahani, M.Hum., yang tampil sebagai Keynote Speaker. Dalam sambutannya menjelaskan kecerdasan buatan kini menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem pendidikan modern.

“Artificial Intelligence bukan lagi sebuah pilihan. Ini adalah keharusan. Mau tidak mau, kita harus siap memanfaatkan AI dengan segala peluang dan tantangannya,” ujar Prof. Farida.

Ia juga menyampaikan rasa bangga karena Prodi PBSI FKIP Univet Bantara mampu menginisiasi seminar bertaraf internasional dengan dukungan luas dari institusi mitra.

Lebih lanjut, Prof. Farida juga menerangkan pemerintah melalui berbagai forum rektor telah memberikan arahan agar perguruan tinggi bersiap menyambut transformasi AI. Kesiapan itu harus diwujudkan melalui penguatan SDM, penyediaan sarana, serta pengembangan kurikulum adaptif.

“Ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi kesiapan manusia untuk memanfaatkannya. AI harus membawa manfaat, bukan sekadar tren,” tambahnya.

Narasumber Prof. Yinghuei Chen membahas hubungan antara sastra, bahasa, dan transformasi digital. Melalui dua puisi pendek “40-Love” karya Roger McGough dan puisi e. e. cummings tentang daun jatuh. Ko lia menunjukkan bagaimana bentuk visual dan permainan bahasa dapat membangun pengalaman belajar yang lebih mendalam.

Prof. Chen juga memperkenalkan konsep “keterampilan kelima” dalam pembelajaran bahasa, melampaui empat keterampilan tradisional. Keterampilan kelima ini dapat berupa literasi digital, kesadaran budaya global, berpikir kritis, hingga kemampuan berpikir dalam bahasa Inggris.

Menurutnya, AI dan model bahasa besar seperti ChatGPT membuat kebutuhan literasi global menjadi semakin mendesak karena bahasa Inggris kini berfungsi sebagai bahasa data dan bahasa internet.

Ia menambahkan bahwa bahasa Inggris telah berevolusi menjadi English as a Lingua Franca (ELF), sehingga pembelajaran bahasa Inggris tidak boleh lagi terpaku pada satu standar tertentu, melainkan memahami keragaman “Englishes” di berbagai negara.

Prof. Deshinta memaparkan analisis tajam mengenai tantangan Indonesia dalam mengadopsi AI pada periode 2023–2025, yang menurutnya mengikuti pola masalah yang berulang.

Di antara isu utama yang dibahas yaitu kesenjangan digital (digital divide) yang membuat akses AI tidak merata di berbagai wilayah. Rendahnya literasi AI di kalangan guru, sehingga banyak yang hanya mengetahui AI tetapi belum mampu mengintegrasikannya secara pedagogis. Turunnya kemampuan berpikir kritis akibat kebiasaan mencari jawaban instan melalui AI. Risiko bias data, privasi, dan keamanan saat menggunakan platform AI global.

Ia memperingatkan tanpa upaya sistematis, ketimpangan pendidikan akan semakin melebar.

“Jika gap ini dibiarkan, bukan AI yang menggantikan guru, tetapi guru yang tak siaplah yang akan kehilangan relevansinya,” terangnya.

Solusi praktis yang ia tawarkan meliputi literasi AI bagi guru, protokol etik penggunaan AI untuk siswa, kurikulum serta asesmen yang siap AI (AI-ready curriculum).

Dr. Rimajon menghadirkan perspektif reflektif dan inspiratif tentang bagaimana manusia harus memposisikan diri di tengah era AI.

Ia menjelaskan tanpa disadari, manusia telah memakai teknologi AI selama bertahun-tahun dalam bentuk Google Translate, Duolingo, grammar checker, plagiarism checker, Siri atau Google Assistant, hingga Google Photos dengan fitur face recognition. Namun, kemunculan ChatGPT membuat manusia mulai menyadari potensi penuh AI.

Ia menjelaskan pentingnya human judgment dalam penggunaan AI. “AI itu generatif, bukan kreatif. Penilaian manusia tetap di pusatnya. Kita harus membaca ulang, memeriksa, dan berpikir kritis," ungkapnya.

Ia juga menjelaskan langkah awal menulis ilmiah dengan memanfaatkan AI secara bertanggung jawab mulai dari ide, tinjauan pustaka, hingga pengembangan kerangka teori menggunakan alat seperti Heristica, Elicit, dan Connected Papers.

Materi penutup dari Prof. Dewi Kusumaningsih menyoroti bagaimana AI mengubah lanskap pendidikan melalui fitur personalisasi pembelajaran, otomatisasi asesmen, pemantauan perkembangan siswa, hingga dukungan untuk pendidikan kebutuhan khusus.

Namun ia mengingatkan implementasi AI harus memperhatikan prinsip etika seperti transparansi, akuntabilitas, kesetaraan akses, perlindungan data, human-centered design.

Pada bagian akhir, ia menggambarkan masa depan pendidikan berbasis AI melalui konsep adaptive curricula, emotion-sensitive AI, Human–AI tutoring, multimodal learning, Learning Passport.

Pelaksanaan SIBI ICEI-2 mencerminkan langkah strategis Univet Bantara dalam memperkuat kolaborasi global, inovasi kurikulum, pengembangan kapasitas pendidik, serta kesiapan kampus menghadapi era kecerdasan buatan.

Dialog lintas negara yang berlangsung sepanjang seminar ini membuka wawasan baru bagi peserta baik mahasiswa, dosen, peneliti, maupun praktisi pendidikan bahwa masa depan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh manusia yang mampu mengelolanya secara bijak.

Seminar berakhir dengan sesi diskusi interaktif, penandatanganan komitmen kerja sama akademik antarperguruan tinggi, serta harapan besar bahwa kolaborasi dan pengetahuan yang dibagikan akan melahirkan inovasi nyata dalam dunia pendidikan Indonesia. (Sofyan)


Baca juga: BUMDes Mulur Gelar Pelatihan Olahan Bayam Brasil, Dorong Kreativitas dan Peluang Usaha Warga


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top