EMOTIONAL SPIRITUAL QUOTIENT (ESQ) Dalam PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Print Friendly and PDF

EMOTIONAL SPIRITUAL QUOTIENT (ESQ) Dalam PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Oleh : Heni Sri Wijayanti, S.Pd.I

Guru SMK Negeri 1 Wirosari, Grobogan Jawa Tengah

Heni Sri Wijayanti, S.Pd.I


       Pendidikan, dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinnya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya (Ali, 1993, p. 8). Pendidikan dalam Islam, antara lain berusaha untuk mengembangkan alat-alat potensial dari manusia tersebut seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah SWT (Muhaemin, 2004, p. 16). Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dalam kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak (Muhaemin, 2004, p. 37). Jadi pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka untuk mempersiapkan generasi seterusnya agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi serta memecahkan berbagai persoalan dalam kehidupan sosial mereka, karena pendidikan merupakan bagian dari strategi dalam kehidupan. Proses penyesuaian manusia terhadap masyarakat dan lingkungannya, dengan semua ruang lingkup yang terdapat di dalamnya. Namun demikian proses tersebut bukan merupakan suatu hal yang sangat mudah, mengingat akan kemampuan yang terbatas pada diri manusia itu sendiri. 

       Perkembangan pendidikan yang memunculkan fenomena universal, unsur orientasi yang mutlak terhadap kebutuhan manusia secara duniawi ataupun religius menuntut adanya pemilahan atau verifikasi terhadap pendidikan dengan konsep yang jelas. Tujuan pendidikan adalah untuk membangkitkan dan meneguhkan kembali cara-cara lama yang lebih baik, untuk memapankan kembali tolok ukur keyakinan dan perilaku tradisional (O`neil, 2002, p. 249). Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan ahli filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para siswa dan anak didik. Ahli filsafat pendidikan berusaha mencari fomula tunggal yang dengan formula itu semua aktivitas belajar manusia dapat dimengerti dan diatur (Ali, 1993, p. 37). Pendidikan sebagai usaha memanusiakan manusia dalam arti bersifat manusiawi senantiasa perlu diorientasikan komponen-komponennya, sehingga tetap bermakna dan relevan dengan kebutuhan zaman, sosial masyarakat serta alam semesta. Dalam Islam konsep pendidikan bukan hanya dikenal dengan konsep tarbiyah dan ta’lim, tetapi juga ta’dib yang meliputi pembinaan potensi intelektualitas, emosinalitas, dan spiritualitas (Al-Attas, 1984, p. 58). Pemaknaan pendidikan lebih jauh juga didefinisikan sebagai usaha untuk menginternalisasikan nama-nama keagungan Tuhan. Intensitas pengajaran Tuhan kepada Adam yang menyebabkannya harus dipatuhi dan dimuliakan adalah karena telah memiliki tiga macam kecerdasan yakni: kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dengan kecerdasan intelektual, Adam membaca, memahami, memanfaatkan dan memakmurkan alam semesta. Dengan emosional, Adam memiliki sikap empati, kasih sayang dan menghargai ketentuan Allah. Dengan kecerdasan spiritual Adam mampu patuh, taat dan berusaha menghambakan diri kepada Allah SWT (Budiman, 2016, p. ii). Untuk mencapai tujuan Pendidikan Islam seperti di atas, sebagai permasalahan pokok yang perlu diperhatikan adalah pokok konsep pendidikan itu sendiri. Aspek pendidikan itu berorientasi pada nilai-nilai ke-Tuhanan, pada nilai-nilai kemanusiaan, dan berorientasi pada nilai-nilai kealaman, sehingga melahirkan manusia-manusia yang cinta akan pelestarian alam (habl min al-Alam). Seiring dengan menjamurnya teori-teori pendidikan, semakin tidak terjadi proses interaksi nilai pendidikan sebagai usaha memanusiakan manusia. Dalam kata lain, menyadarkan subyek didik sehingga berfikir kreatif, berperasaan manusiawi, dan berkecerdasan Ilahi. Ketidak keberhasilan cita dan ide pendidikan ini ditandai dengan membudayanya fenomena tidak manusiawi, seperti menggejalanya budaya narkoba, aksi tawuran, dan demonstrasi sebagai alternatif penyaluran aspirasi subyek didik dan masyarakat pada umumnya.

       Ary Ginanjar Agustian dalam (Tasmara, 2001, p. xi) melahirkan sebuah istilah yang segar berupa pemahaman dan pendalaman kedua inti rukun Iman dan rukun Islam. Ia memberi nama ESQ (emosional and spiritual quotient), atau kecerdasan emosi dan spiritual. Kecerdasan spiritual, yakni suatu kecerdasan yang bukan hanya tertumpu pada kualitas manusiawi (kognitif, afektif, dan psikomotor) seperti halnya yang diterjemahkan oleh psikolog barat, Benyamin Bloom, tetapi juga tertumpu pada pada nilai-nilai ke-Tuhanan (transenden). Kecerdasan seperti ini akan menjadikan kekuatan moralitas yang berpihak dan hanya akan terus berpihak secara konsisten pada nilai-nilai ke universalan. Kecerdasan spiritual merupakan fenomena baru yang lahir di abad XXI. Fenomena kehadiran aliran spiritual yang bermakna spirit atau semangat, lahir di era modern dan menyimbolkan dirinya sebagai new age, new thought, dan religion science. Pemaknaan apa itu kecerdasan spiritual masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan para pakar, di antaranya: Pertama, Ginanjar mengemukakan kecerdasan emosi dan spiritual bersumber dari suara hati. Sedangkan suara-suara hati itu ternyata berasal dan sama persis dengan nama-nama sifatsifat Ilahiyah yang telah terekam di dalam jiwa setiap manusia, seperti dorongan ingin mulia, dorongan ingin belajar, dorongan ingin bijaksana, dan dorongan-dorongan lainya (Agustian, 2007, p. 200). Kedua, Jalaludin Rakhmat dan Komaruddin Hidayat berpendapat sebaliknya, bahwa kecerdasan spiritual tidaklah sama dengan agama. Orang yang beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual, karena agama di samping sebagai aturan-aturan formal, juga kadang-kadang berperan terhadap tragedI saling bunuh sesama manusia (Hidayat & dkk., 2002, p. 21). 

       Dalam dunia pendidikan masa kini, yang lebih bercorak modern dan sekuler kadang-kadang berakibat ke arah hilangnya kualitas manusiawi (spiritual dan moral). Oleh karena itu perlu diterapkan suatu sistem pembelajaran yang lebih memprioritaskan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Proses Pembelajaran yang diarahkan kepada kualitas intelektual saja, belum tentu akan menghasilkan kecerdasan emosional dan spiritual. Sebaliknya proses pembelajaran yang diarahkan kepada kualitas emosional dan spiritual dengan sendirinya akan melahirkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual sekaligus.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top