GIVE RADIO IKOM UNIVET
Redaksi / Pemasangan Iklan
Total Tayangan Halaman
WAYANG DAN POLITIK NUSANTARA
WAYANG DAN POLITIK NUSANTARA
Oleh: Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum
Guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Anggota Dewan Pakar SENAWANGI Jakarta
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum |
Pada waktu kampanye pemilihan presiden di Solo tanggal 10 Februari 2024, diperagakan sebuah cerita wayang yang menceritakan tentang Wisanggeni yang akan menghancurkan Dewi Durga dan Batara Kala sebagai salah satu syarat kemenangan Pandawa dalam perang Mahabharata. Dalam peristiwa tersebut, seorang pemeran Semar yang bernama Blacius Sobono tiba-tiba jatuh dan meninggal dunia. Kejadian ini sungguh di luar dugaan dan menjadi suatu heboh nasional.
Penggunaan pementasan wayang sebagai sarana kampanye yang dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin oleh Ibu Megawati merupakan salah satu contoh penggunaan media wayang sebagai sarana kegiatan politik. Wayang digunakan sebagai sarana kegiatan politik bukanlah hal yang baru. Tulisan ini akan membahas mengenai kronologi penggunaan wayang sebagai sarana politik di Indonesia.
Politik adalah suatu usaha bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama. Cita-cita itu bersama itu misalnya mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata. Politik pada umumnya berkaitan dengan pemerintahan. Artinya, siapa yang berkuasa atau memegang kendali pemerintahan. Politik juga dapat diartikan suatu usaha untuk berkuasa tanpa melalui peperangan, melainkan dengan membangun cita-cita bersama dan untuk kebaikan bersama. Politik adalah suatu hegemoni. Diajak bersama tanpa merasa dipaksa apalagi disiksa (Katimin, 2017)
Wayang digunakan dalam politik ada beberapa jenis. Jenis pertama, wayang merupakan bagian fundamental dari politik itu sendiri. Cerita wayang sebagai simbol cita-cita bersama. Kedudukan seperti itu terjadi pada masa Rakai Pikatan yang dianggap sebagai deva raja. Rakai Pikatan dianggap sebagai titisan Wisnu setara dengan Sri Rama. Karena itu, meskipun Candi Prambanan (dibangun 850) sebenarnya candi Siwa (Siwagrha), tetapi relief yang mendominasi adalah relief Ramayana. Sebagaimana kita ketahui bahwa Sri Rama yang dianggap meletakan dasar-dasar pemerintahan yang dikenal dengan nama hastabrata (Rohman et al., 2018).
Kedudukan cerita wayang sebagai bagian fundamental kehidupan sosial politik Maratam Kuna ditemukan dalam prasasti Balitung yang menyebutkan Si Galigi Mawayang Buat Hyang Macarita Bimma Ya Kumara, yang artinya 'Galigi mengadakan pertunjukan wayang untuk dewa dengan mengambil kisah Bima Kumara. Hal ini berarti bahwa pertujukan wayang adalah bagian tidak terpisahkan dari kegiatan raja.
Kakawin Arjunanwiwaha merupakan bentuk wayang yang disanggit oleh pujangga abad ke 11 pada masa Airlangga. Kisah Arjunawiwaha aslinya adalah Wanaparwa dalam Mahabharata India. Pada parwa ini Pandawa dihukum 12 tahun di hutan. Dalam versi India, Drupadi adalah istri kelima Pandawa dan dalam menggauli mereka laksanakan secara bergiliran. Pada saat giliran tertentu, maka Pandawa lain tidak tidak boleh menganggu dan menjenguk. Pada suatu masa, Drupadi sedang di kamar bersama Bima. Arjuna yang tidak tahu masuk kamar dan mengambil panah. Arjunan dianggap bersalah dan dihukum dibuang di hutan selama dua tahun (Zoetmulder & Hartoko, 1983).
Kisah yang merupakan kesengsaran Arjuna ini justru dijadi cerita carangan oleh empu Kanwa. Tujuan penulisan ini adalah sebuah legitimasi kepada Airlangga bahwa untuk mencapai kedudukannya sebagai raja, Airlangga harus masuk keluar hutan seperti Arjuna. Artinya, Airlangga adalah bentuk lain dari Arjuna.
Wayang juga bisa menjadi bagian artifisial suatu kegiatan politik. Pada waktu awal pemilihan Presiden DPP PKS juga rutin menggelar pentas wayang. Pada tanggal 7 Agustus 2023 dipentaskan lakon “Parikesit Jumeneng Ratu” oleh Ki Anom Suorot dan putranya Bayu Aji. Hal senada juga dilakukan oleh DPD Partai Golkar Nganjuk dalam rangka peringatan 17 Agustus 2023 di lapangan Gunungsewu. Lakon yang diambil Lahire Batara Guru dengan Dalam Ki Anom Dwijo Kangko. Pentas ini dalam rangka mendekatkan Golkar dengan rakyat, atau usaha mendapat simpati masyarakat.
Pada masa Jawa baru, semua yang secara fundamental memang perlahan-lahan mulai terkikis. Kedudukan wayang yang dikaitkan dengan politik digunakan oleh keraton Yogyakarta. Keraton yang berdiri pada tahun 1755 ini mengambil nama ibukotanya Ayodya yang kemudian menjadi Ngayogyakarta Hadiningrat karena mengambil teladan dari kota Sri Rama. Meskipun Kesultanan Ini adalah sebuah kesultanan Islam, namun sudut pandangnya masih diwarnai dengan sudut pandang Ramayana yang menganggap Sri Rama adalah titisan Wisnu. Dalam hal ini, sultan Jogjakarta juga dianggap sebagai titisan Wisnu. Bukti-bukti tentang hal ini bahwa kendaraan Sultan disebut sebagai Garudayeksa. Hal ini berhubungan dengan gambaran Dewa Wisnu yang digambarkan naik Garuda. Sultan Jogja juga terkenal sebagai sultan yang sangat toleran terhadap rakyatnya yang merupakan gambaran dari sifat Wisnu sebagai Dewa pemelihara. Yang menarik lagi, di Jogjakarta terdapat gua yang diberi nama gua Kiskenda yang merupakan nama gua yang diambil dari kisah Ramayana. Gua ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Kulonprogo.
Bukti bahwa cerita Ramayana menjadi bagian politik dari Kesultanan Yogyakarta adalah diciptakannya lakon Rama Nitik yang merupakan lakon khas Yogyakarta. Lakon ini adalah lakon yang menceritakan Sri Rama mencari tempat menitiskan ragama dan ditemukan dalam diri Krisna. Pada fase ini bertemulah Wisnu dalam Mahabharata dan Ramayan. Lakon Rama Nitik adalah khusus untuk wayang orang Yogyakarta. Menurut RM Sudarsono wayang orang Yogyakarta sebagai drama ritual Kraton Yogyakarta. Di dalamnya adalah gambaran Dewa Wisnu yang memelihara dunia sesuai gelar Sultan Yogyakarta: Hamengku Buwana (Soedarsono, 1997).
DAFTAR BACAAN
Katimin, H. (2017). Politik Islam : Studi Tentang Azas, Pemikiran Dan Praktik Dalam Politik Umat Islam.
Rohman, F., Awalin, N., & Timur, J. (2018). Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat. Jurnal Kebudayaan, 12(1), 77–89. https://jurnalpuslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/index.php/kebudayaan/article/download/234/pdf
Soedarsono, R. M. (1997). Wayang wong drama tari ritual kenegaraan di keraton Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Zoetmulder, P. J., & Hartoko, D. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Djambatan.
Top 5 Popular of The Week
-
5 KOMPONEN PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI Oleh: Novi Astutik, S.Pd.SD SD Negeri 4 Wonogiri, Wonogiri Jawa Tengah Novi Astutik, S.Pd.SD ...
-
PENYEBAB RENDAHNYA MINAT MEMBACA SISWA Oleh : Apriyati SDN Penyarang 04, Sidareja, Cilacap Jawa Tengah Apriyati Membaca merupakan keg...
-
FILSAFAT JAWA KIDUNGAN “ANA KIDUNG RUMEKSA ING WENGI” Oleh: Sri Suprapti Guru Bahasa Jawa di Surakarta Sri Suprapti Filsafat Jawa a...
-
ALAT PERAGA ULAR TANGGA NORMA DAN KEADILAN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN PPKn Oleh: Sulistiani, S.Pd Guru SMP Negeri 3 Satu Atap Mijen, Demak J...
-
PEMANFAATAN APOTEK HIDUP DI LINGKUNGAN SEKOLAH Oleh : Rosi Al Inayah, S.Pd Guru SMK Farmasi Tunas Harapan Demak, Jawa Tengah Rosi Al Inayah...
-
PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI Oleh : Wahyu Sri Ciptaningtyaswuri, S.Pd.SD Guru SDN Kaliayu, Cepiring, Kendal Jawa Tengah Wahyu Sri Ciptaning...
-
PENTINGNYA PENGGUNAAN BAHASA JAWA KRAMA DIKALANGAN REMAJA PADA ABAD 21 Oleh : Kunaniyah, S.Pd Guru Bahasa Jawa SMP Islam Al Bayan Wiradesa,...
-
PERMAINAN OLAHRAGA DALAM PENJAS ADAPTIF BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Oleh : Agus Dwi Surahman, S.Pd Guru SLB BC YSBPD Wuryantoro, Wonogiri ...
-
ICE BREAKING SALAM PANCASILA TINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MENGGALI IDE PENDIRI BANGSA TENTANG DASAR NEGARA Oleh : Suheti Priyani, S.Pd Guru M...
-
Master Setiawan, narasumber sekaligus pimpinan LKP Matematika Indonesia saat memberikan pelatihan matematika kepada calon tenaga kerja mag...
Tidak ada komentar: