FILSAFAT JAWA KIDUNGAN “ANA KIDUNG RUMEKSA ING WENGI”

Print Friendly and PDF

FILSAFAT JAWA KIDUNGAN “ANA KIDUNG RUMEKSA ING WENGI”

Oleh: Sri Suprapti 

Guru Bahasa Jawa di Surakarta

Sri Suprapti 


       Filsafat Jawa adalah ilmu yang mempelajari tentang filsafat yang bertumpu pada pemikiran-pemikiran yang berakar pada budaya Jawa. Filsafat Jawa sebenarnya juga tergolong pada filsafat Timur, yang umumnya berdasarkan pada pemikiran para filsuf di India dan Tiongkok, meskipun saat ini filsafat Jawa belum diakui sebagai bagian dari filsafat Timur tetapi pada dasarnya filsafat Jawa memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam filsafat India.

       Filsafat Jawa seperti halnya filsafat lainnya, pada dasarnya bersifat universal. Jadi filsafat Jawa meskipun dilahirkan dari hasil kebudayaan Jawa tetapi sebenarnya bisa berguna bagi orang-orang di luar Jawa juga. Meski bersifat universal, filsafat Jawa atau filsafat Timur pada umumnya memiliki perbedaan dengan filsafat Barat. Dalam filsafat Timur, termasuk juga filsafat Jawa tujuannya adalah untuk mencapai kesempurnaan, sementara filsafat Barat tujuannya adalah kebijaksanaan.

       Penulis sengaja membuat artikel ini sekaligus meluapkan rasa kangen kepada Orang Tua yang sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Kenapa kidungan? Karena sewaktu masih ada Orang Tua selalu menyanyikan kidungan itu sebagai senandung jiwa yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam. Senandung jiwa tersebut disaat mengungkapkan perasaan yang sedang bahagia bersama anak-anaknya yang selalu dalam lindungan Allah SWT. Kebetulan Orang Tuaku adalah Orang Jawa yang mempunyai kebiasaan  ngidung  atau  nembang. Baik  ngidung  maupun  nembang , keduanya sama-sama menjadi klangenan mereka dalam merefleksi hidup. Seringkali kebiasaan itu berjalan beriringan dengan kegemaran mendengarkan lantunan gamelan Jawa, atau yang biasa disebut klenengan, juga tidak lupa wayangan semalam suntuk dengan radio kesayangannya.

       Pada sore hari selepas bekerja, di pedesaan kerap menyenandungkan tembang-tembang Macapat. Ada sebuah ketenangan batin yang dirasakan setiap kali bait demi bait dinyanyikan. Demikian pula dengan sebuah tembang atau kekidungan, yang diberi judul Kidung Rumekso Ing Wengi. Kidung ini juga dikenal dengan nama Mantra Wedha.  Berdasarkan cerita tutur, kidung ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, salah satu Walisongo yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.

       Kidung ini biasa dinyanyikan pada malam hari, atau selepas shalat malam. Sebagaimana maknanya, Kidung Rumekso Ing Wengi bertujuan menyingkirkan diri dari balak atau gangguan, baik yang nampak maupun tidak.  Kidung ini juga mengingatkan manusia agar mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Begini bunyinya,

Ana kidung rumekso ing wengi

Teguh hayu luputa ing lara 

luputa bilahi kabeh

jim setan datan purun

paneluhan tan ana wani

niwah panggawe ala

gunaning wong luput

geni atemahan tirta

maling adoh tan ana ngarah ing mami

guna duduk pan sirno

       Arti bebasnya kurang lebih sebagai berikut : Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap.)

       Penulis sendiri waktu itu belum tahu artinya sama sekali. Tetapi anehnya setiap kali Orang Tua menyenandungkan kidungan itu, semua anak-anaknya termasuk penulis yang mendengarnya segera terdiam. Lebih aneh lagi  tidak ada sepatah katapun yang keluar dari anak-anaknya.  Baru setelah selesai kidungan anak-anaknya mengeluarkan kata-kata, biasanya dalam bentuk pertanyaan. Namun demikian Orang Tua selalu menjawab pertanyaan dari anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Bahkan sering ditambah dengan kata-kata untuk selalu jujur, aja nyolong lan aja ngapusi (jangan mencuri dan jangan bohong), berdoa-terus menerus dan selalu mendekat kepada Allah.

       Dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi dibahas tentang hal-hal yang bersifat keagamaan untuk memberikan pedoman bagi masyarakat Jawa dalam menghadapi datangnya jaman edan atau jaman kala bendhu dan kalatidha. Jaman Kalabendu; (Kala: Jaman, masa; Bendu: marah; kalau dikatakan antuk bebenduning Pangeran, artinya mendapatkan amarah atau hukuman dari Allah. Mengapa Tuhan marah? Tentunya karena perbuatan manusia di dunia sudah melampaui batas, terlalu banyak melanggar hukum-hukum Allah).Dalam “Sarine Basa Jawa”, Padmasukatja (1967) disebutkan “Kalabendu” sebagai jaman dimana kesusilaan manusia sudah rusak. Ada pengaruh “Bathara Kala disitu”.

       Dengan pengertian seperti tersebut di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi mempunyai tujuan agar manusia dalam hidup di dunia ini harus selalu beriman kepada Allah. Sebagai seorang Muslim dalam mengarungi bahtera kehidupan yang penuh dengan gelombang, tidak merasa bimbang, tidak ragu-ragu menghadapi persoalan yang sedang dihadapi. Berpikir yang cerah, hati terasa tenang dan tentram, mempunyai pendirian yang kuat serta mempunyai sikap optimis dalam hidup. Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah Allah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram (QS.al-Ra’d:28). Tanpa keimanan dan kehidupan yang berdasarkan kepentingan duniawi semata, maka perbuatan manusia akan sia-sia.

       Dibaca dari kata-kata bait pertama “Ana kidung rumeksa ing wengi” (ada nyanyian yang menjaga di malam hari ), ternyata Sunan Kalijaga ingin mengajak umat Islam saat itu untuk membaca dan mengamalkan sungguh-sungguh Kidungnya ini demi keselamatan di malam hari. Sebab dengan cara Kidungan niscaya mereka akan selamat dari berbagai macam kejahatan yang berasal dari jin, setan dan manusia yang menggunakan ilmu hitam. Hal ini merupakan pemahaman atau penjelasan Sunan Kalijaga atas Surah al- Falaq dan an-Nas. Selain beriman, yaitu untuk lebih fokus kepada kehidupan nyata (menjadi manusia yang selalu waspada, legawa/ hati yang lapang ). Dan yang terkhir yaitu hubungan manusia dengan Tuhan. Setiap perbuatan ditampakkan dengan sikap sabar, syukur dan pasrah kepada Allah. Apabila ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dapat dikabulkan oleh Allah, dapat tercapai semua yang diinginkan.

       Jadi hanya dengan memohon perlindungan kepada Allah, karena Dia yang menetapkan dan mengatur hukum-hukum alam, yang menjadikannya muncul di tengah kegelapan malam. Biasanya kejahatan atau kesulitan muncul di malam hari atau direncanakan dalam keadaan gelap, baik kejahatan dari manusia, binatang dan sebagainya. Dengan meyakini bahwa Allah adalah yang mampu membelah kegelapan malam dengan terangnya pagi seseorang akan yakin pula bahwa Allah juga mampu menyingkirkan kejahatan dan kesulitan baik kapan dan dimanapun akan muncul pertolongan untuk menyingkirkan kesulitan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. (*)



2 komentar:

  1. Sarujuk sanget, bilih kidung mekaten mujudaken satunggaling satunggaling panyuwunan dhateng Gusti ingkang Maha Agung, supados kita saged Kalis saking sawernining bebendu....

    BalasHapus
  2. Hatur nuwun bu sampun maringi pencerahan

    BalasHapus


Top