Posted by CB Magazine on Kamis, 05 Juni 2025 |
Pendidikan
 |
Mahasiswa bersama dosen mempelajari salah satu naskah koleksi Khong Kauw dengan didampingi narasumber, Rabu (4/6/2025). (Foto: Muhammad Farhan Al Faiq) |
Mahasiswa Sastra Indonesia Kunjungi Perkumpulan Khong Kauw Lithang di Surakarta
Surakarta- majalahlarise.com -Mahasiswa Program Studi Filologi Sastra Indonesia dari Universitas Sebelas Maret (UNS) mengadakan kunjungan akademik ke Perkumpulan Khong Kauw Lithang Gerbang Kebajikan yang berlokasi di Jebres, Surakarta. Kunjungan ini bertujuan untuk mempelajari koleksi naskah kuno serta mendalami nilai-nilai budaya dan spiritual yang terkandung dalam ajaran Konghucu. Dalam kesempatan tersebut, mereka menemukan koleksi sebanyak 1.815 naskah kuno yang tersimpan di sana.
WS Adjie Chandra, seorang pendeta tingkat tinggi dalam agama Buddha dan keturunan Tionghoa, berperan penting dalam pelestarian serta pemahaman ajaran Konghucu di Lithang. Ia menjelaskan bahwa naskah koleksi Khong Kauw terdiri atas naskah cap berbahasa Mandarin, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia. Sebagian besar isinya memuat ajaran Konghucu dan ditulis menggunakan aksara Mandarin klasik.
“Naskah di sini berjumlah 1.815. Sebagian besar berbentuk buku/kitab, menggunakan aksara Mandarin klasik yang dibaca dari kanan ke kiri. Pada tahun 2018, pernah kami lakukan upaya digitalisasi menggunakan pemindai fotokopi sederhana, satu per satu,” ucap Adjie.
Proyek digitalisasi tersebut dipimpin oleh Ibu Retno sebagai penanggung jawab, dan berlangsung selama enam bulan dengan dukungan dari British Library. Proses digitalisasi kemudian dilanjutkan pada tahun 2024 menggunakan pemindai tangan yang lebih modern.
Selain membahas koleksi naskah, Adjie juga menjelaskan makna simbol-simbol yang terdapat dalam Lithang. Lithang sendiri berasal dari kata li yang berarti “tata krama” dan thang yang berarti “aula”. Biasanya, Lithang berada di dalam klenteng. Namun, karena keterbatasan ruang di klenteng utama, Lithang di Surakarta dipindahkan ke lokasi yang lebih luas.
“Dulu, karena tekanan rezim, banyak klenteng diubah menjadi tempat ibadah Tridharma. Di sini pun hanya tersisa altar Nabi Konghucu dan beberapa simbol Ruchow, agama bagi orang terpelajar. Baru setelah masa Gus Dur dan kemudian SBY, umat Konghucu mulai bisa mengekspresikan kepercayaannya secara terbuka,” ujar Adjie.
Adjie juga membagikan pengalamannya mempelajari bahasa Mandarin demi memahami naskah dan ajaran leluhur.
“Saya sendiri keturunan Tionghoa, tapi keluarga saya sejak generasi keempat tidak lagi menggunakan bahasa Mandarin. Untuk menjadi pendeta, saya harus mempelajarinya kembali dari nol. Itu tidak mudah.”
Dalam ajaran Konghucu, terdapat konsep Tripusaka yang terdiri atas tiga nilai utama, yaitu cerdas, penuh kasih, dan mandiri. Selain itu, Adjie juga menyebut konsep Hasta Brata, yaitu delapan kebajikan utama yang menjadi pedoman hidup manusia bijak.
“Delapan prinsip moral itu mencakup: berbakti kepada orang tua (xiao), rendah hati (ti), setia (zhong), jujur (xin), sopan santun (li), kebijaksanaan (yi), hati yang suci (lian), dan tahu malu (chi),” tambahnya.
Selain mempelajari isi naskah, mahasiswa UNS juga diajak memahami simbol dan gestur khas umat Konghucu, seperti salam fai-fai. Salam ini dilakukan dengan tangan kanan yang dikepalkan, ditutup oleh tangan kiri, dan kedua ibu jari saling bersentuhan.
“Gerakan ini adalah perumpamaan bahwa manusia lahir dari kuasa ayah dan ibu. Tangan kanan mewakili perempuan, tangan kiri mewakili laki-laki. Dalam Konghucu, semuanya bermakna,” terang Adjie.
Lithang Gerbang Kebajikan menjadi bukti bahwa budaya dan spiritualitas Tionghoa di Indonesia tetap hidup dan tumbuh, meskipun sempat ditekan oleh sejarah. Melalui kunjungan akademik ini, diharapkan koleksi naskah kuno tersebut dapat terus dikaji, didigitalisasi, dan menjadi bahan pembelajaran lintas generasi. (Febriyanti Tri Wahyuningtyas/ Sofyan)
Baca juga: UPT Perpustakaan Unisri Launching E-Book DIGIDO dan Jalin Kerjasama dengan 9 Perguruan Tinggi
Tidak ada komentar: