Film Pendek “Asa” Menjadi Media Dalam Menyampaikan Materi Gender Dan Kekerasan Seksual Untuk Penyadaran Sejak Dini Kepada Remaja di SMA 1 Negeri Cawas

Print Friendly and PDF

Mahasiswa KKN Unisri saat menyampaikan materi gender dan kekerasan seksual yang tidak disadari banyak orang.


Film Pendek “Asa” Menjadi Media Dalam Menyampaikan Materi Gender Dan Kekerasan Seksual Untuk Penyadaran Sejak Dini Kepada Remaja di SMA 1 Negeri Cawas

Klaten- majalahlarise.com -Salah satu program kerja pribadi dalam kuliah kerja nyata (KKN) kelompok 71 Universitas Slamet Riyadi Surakarta yang dilaksanakan di SMA Negeri 1 Cawas pada Jumat (26/8/2022) berjalan lancar. Kegiatan yang diselenggarakan pukul 09.30 WIB bertujuan untuk remaja dapat paham terkait perbedaan gender dengan seks (jenis kelamin) serta memberikan pemahaman terkait jenis-jenis pelecehan dan kekerasan seksual yang tidak tersadari padahal banyak jenisnya, yang dialami oleh perempuan dan laki-laki salah satunya yaitu catcalling.

Program KKN yang diselenggarakan bernama SERAHLOKH (Srawung Hore, Ndelok Filem), dengan tema “Stigma Kelam yang Tak Kunjung Hilang Akibat Relasi Kuasa”. Audio visual dapat menjadi media untuk menarik perhatian dalam menyampaikan pesan kepada audien, salah satunya berbentuk film, film pendek berjudul “Asa” menjadi pilihan dalam kegiatan program kerja pribadi Nawal Najla Azula prodi Ilmu Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Film pendek yang mengangkat cerita mengenai kekerasan berbasis gender online atau yang biasa kita singkat dengan KBGO, mengangkat isu sensitif mengenai perempuan yang dalam situasi tertentu selalu menjadi pihak yang disalahkan. Cerita yang diangkat di film pendek ini merupakan kisah nyata dari penyintas yang berjuang mendapatkan keadilan. 

Melalui kegiatan ini diharapkan remaja mengetahui jenis pelecehan dan kekerasan seksual yang sudah dijelaskan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Rancangan undang-undang yang sudah melalui proses panjang sekitar 6 tahun yang dimulai pada tahun 2012 sampai 2022, tepatnya 12 April 2022 baru disahkan dengan melalui proses perubahan nama, pengurangan pasal, tidak diprioritaskan dalam daftar prolegnas, lalu tidak masuk kedalam agenda rapat paripurna, dan terjadinya demonstrasi dibeberapa tempat yang mengangkat isu ini. Dapat dilihat data kasus kekerasan seksual berdasarkan sumber data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI tahun 2021, kekerasan terhadap anak jumlah kasusnya yaitu 10.368 kasus atau 15,2% kasus, dan kekerasan terhadap perempuan yaitu 14.517 kasus atau 45,1 % kasus. Dan berdasarkan sumber lainnya yaitu Redaksi Metro TV 35% perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Urgensi terkait undang-undang ini merupakan karena perempuan dan anak menjadi pihak yang rentan menjadi korban, yang diakibatkan relasi kuasa atau sistem patriarki yang masih berkembang dimasyarakat. Ketidaksetaraan gender merupakan salah satu sebab masih terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi yang rentan terkena anak remaja. 

Pentingnya pengetahuan terkait gender merupakan awalan untuk mencegah terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual. Urgensi Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dikarenakan undang-undang ini mengatur terkait definisi dan jenis-jenis kekerasan seksual yang tidak diatur secara rinci dalam Kitab Undang-Undang (KUHP), sebab dalam KUHP membahas hanya terkait pemerkosaan dan pencabulan, yang dimana undang-undang yang ada sudah kurang relevan lagi untuk saat ini dikarenakan pembuatan KUHP dibuat saat zaman Belanda. Undang-undang ini menjadi titik terang untuk para korban sebab undang-undang ini berfokus pada korban salah satunya yaitu mengatur terkait kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan dengan restorative justice yaitu tidak boleh lewat cara kekeluargaan atau mediasi, serta undang-undang ini memberikan keselamatan kepada para korban tanpa menimbulkan trauma pada korban melalui layanan pemlihan kepada korban, karena dapat dilihat KUHP hanya berfokus pada pelaku saja. Undang-undang ini bukan hanya untuk perseorangan atau individu saja tapi juga berlaku untuk korporasi (lembaga atau instansi) juga dapat dikenai pidana. 

Kegiatan SERAHLOKH (Srawung Hore, Ndelok Filem) berkolaborasi dengan Pusat Kajian Perempuan Solo (PUKAPS), dengan mendatangkan Deana Sari sebagai pembicara dalam kegiatan ini. Dean mengatakan dalam materi yang disampaikannya yaitu, "jika orang terdekat menjadi korban jangan lupa dengarkan, jangan menyalahkan korban  Cari tahu kebutuhan korban, tawarkan bantuan, jangan memaksakan pendapat, pastikan keamanan korban, dan cari bantuan. Serta yang harus dilakukan jika orang terdekat merupakan pelaku yaitu jangan denial atau menolak, dorong atau minta pelaku bertanggung jawab, dorong pelaku untuk melakukan konseling pelaku kekerasan", ujarnya. Yang dimana materi yang disampaikan oleh pembicara dengan menyampaikan terkait gender, sistem relasi kuasa atau patriarki, menjelaskan seputar pelecehan dan kekerasan seksual yang salah satunya berkaitan dengan film pendek “Asa” yaitu kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang banyak di alami oleh remaja saat ini, selain itu pemateri juga menjelaskan terkait pencegahan, pendampingan, penanganan, perlindungan dalam menghadapi pelecehan dan kekerasan seksual. Audien dalam kegiatan SERAHLOKH (Srawung Hore, Ndelok Filem) yaitu XII IPS 3 menjadi sasaran audien yang dipilih oleh pihak SMA Negeri 1 Cawas. 

Kegiatan srawung hore berjalan secara interaktif oleh, pembicara bukan hanya menjabarkan teori-teori saja akan tetapi ada interaksi dua arah dengan audien dan diharapkan teori yang dijabarkan tidak bersifat kaku tetapi menyenangkan sesuai dengan konsep acara yaitu “srawung hore”. Selain  itu Nawal Najla Azula selaku yang mempunyai program kerja KKN menjabarkan terkait payung hukum yang di miliki Indonesia yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). 

“Normalisasi kekerasan seksual, budaya victim blamming, mengalami tonic immobility, tidak ada dasar hukum, tidak tahu cara melapor, dan tidak tahu kalau mengalami kekerasan seksual”, ujar Dean terkait alasan korban tidak melaporkan kasus yang ia alami. 

Film pendek yang dipilih dalam program kerja pribadi ini lebih spesifik menceritakan terkait kekerasan berbasis gender online (KBGO). Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), terkait penyebaran konten pornografi dengan modus balas dendam korban akan di lindungi oleh undang-undang ini dan kasus KBGO dapat mendapatkan hukuman bukan hanya berdasarkan UU TPKS tapi bisa berlapis yaitu di berengi dengan UU ITE dan UU lainnya yang berkaitan. 

Najla mengungkapkan, kesulitan pada alat bukti membuat korban trauma dan takut dalam mengusut kasus pelecehan dan kekerasan yang terjadinya pada dirinya, untuk sekarang cukup satu alat bukti saja dapat memidanakan predator berbeda dengan dulu, di undang-undang ini bukan hanya hukuman penjara dan denda saja sebagai hukuman bagi para predator akan tetapi pencabutan hak asuh anak, pengumuman identitas pelaku dengan menunjukkan orang tersebut adalah predator, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan pembayaran restitusi merupakan hukuman yang dapat dikenakan oleh predator. 

“Tinggal implementasinya atau pelaksanaannya karena payung hukumnya sudah ada. Karena UU yang hadir merupakan hadiah bagi seluruh perempuan dan korban yang ada sebagai awalan, karena ada payung hukum yang berspektif pada korban karena biasanya berspektif pada pelaku”, ujar Najla.

Sebagai penutup diakhir kegiatan sekitar pukul 11.00 WIB, najla mengatakan lewat program kerja ini dapat menjadi bentuk penyadaran dini bagi remaja-remaja yang masih buta akan topik yang diangkat, dan bentuk kelanjutan dari program ini yaitu dapat membantu dalam mendampingi penyintas yang bekerjasama dengan bimbingan konseling SMA Negeri 1 Cawas dengan berkolaborasi dengan Pusat Kajian Perempuan Solo (PUKAPS). (Sofyan)


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top