PERGESERAN PARADIGMA PENDIDIKAN

Print Friendly and PDF

PERGESERAN PARADIGMA PENDIDIKAN

Oleh : Luci Dahlia Aryati

SD N Kebonrejo, Temon, Kulon Progo

Luci Dahlia Aryati


       Kemajuan merupakan suatu keniscayaan yang ingin dicapai semua bangsa, termasuk Indonesia. Bangsa Indonesia sudah melewati berbagai dinamika dan sudah kenyang manis pahitnya arus globalisasi. Gerakan reformasi yang telah digelorakan lebih dari 20 tahun telah banyak mempengaruhi berbagai sendi kehidupan di Indonesia. Dunia pendidikan khususnya menjadi salah satu instrumen yang terdampak oleh arus reformasi tersebut. Dunia pendidikan Indonesia pasca reformasi seolah seperti petani yang berganti tanaman, lahan garapannya tidak berubah, namun komuditi dan hasil yang diharapkan ingin lebih baik dan terus meningkat. Akan tetapi, asa manis yang digelorakan hingga kini belum maksimal. Selama ini perubahan dan perbaikan yang digelorakan memang sudah berjalan dan berdampak pada perbaikan. Dilihat dari sisi kuantitas setiap tahun angka peserta didik dan institusi pendidikan terus meningkat. Namun dilihat dari sisi kualitas, perbaikan tersebut belumlah merata secara Nasional. Ketimpangan dan perbedaan potensi masing-masing daerah berpengaruh terhadap pelaksanaan aktivitas pendidikan itu sendiri. Inilah yang mengakibatkan kemajuan pendidikan di Indonesia solah berjalan lambat. Disaat pemerintah sedang menggenjot sektor pendidikan agar dapat setara dengan pendidikan di negara maju tantangan kembali muncul. Dunia konvensional yang telah lama mendominasi dan menjadi budaya dunia, kini telah terkikis dan bukan mustahil peradaban konvensional akan lenyap. Perubahan besar ini berimplikasi pada pola pikir, aktivitas dan daya kreativitas masyarakat dunia secara umum. 

       Dalam dunia pendidikan citra guru yang dulu dianggap paling dominan, perpengaruh dan multitalent oleh peserta didik lambat laun akan bergeser. Pergeseran paradigma tersebut apakah lantas dimaknai secara pragmatis ataukah justru perlu disikapi secara arif. Bagi peserta didik boleh jadi guru yang hadir kini dengan “penampilan” masa lalu akan menjadikannya “malas” berinteraksi di sekolah. Sekolah dianggap tidak mampu mengakomudasi kebutuhan siswa. Jika ini yang terjadi maka sekolah terutama pendidik akan kehilangan ruhnya dimata peserta didik. Sebalinya, bagi pendidik yang mempu menampilkan sikap adaptif, momentum ini akan menjadi lecutan terbaik untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kecakapan “skill” siswa.

       Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan rentang jarak antar pendidik dan peserta saling berkomunikasi melalui berbagai jejaring sosial. Komunikasi semacam ini tentu tidak terjadi pada 10 atau 20 tahun lalu. Perkembangan yang sedemikian pesat ini merubah arah pendidikan yang dulu hanya sebatas “education” menjadi “edutaiment”. Kedua pendekatan ini secara esensial tidaklah merubah hakikat proses kegiatan belajar mengajar di kelas namun dalam sisi yang lain terdapat perbedaan dalam perencanaan, strategi, teknik dan metode pengajarannya.

       Perkembangan yang cepat di bidang teknologi, akan berdampak pada aspek kultural dan nilai-nilai suatu bangsa. Tekanan, kompetisi yang tajam di berbagai aspek kehidupan akan melahirkan generasi yang disiplin dan berbeda dengan generasi sebelumnya. Namun, di sisi lain, kompetisi yang ketat juga melahirkan generasi yang secara moral mengalami kemerosotan: konsumtif, boros dan memiliki jalan pintas bermental “instant”. Dengan kata lain, kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi, telah mengakibatkan kemerosotan moral di kalangan peserta didik juga masyarakat pada umumnya. Kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya pemenuhan berbagai keinginan material, telah menyebabkan masyarakat menjadi “kaya dalam materi tetapi miskin dalam rohani”.

       Di dunia pendidikan, digitalisasi akan mendatangkan kemajuan yang sangat cepat, yakni munculnya beragam sumber belajar dan merebaknya media massa, khususnya internet dan media elektronik sebagai sumber ilmu dan pusat pendidikan. Dampaknya adalah guru/pendidik bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Hasilnya, para siswa bisa menguasai pengetahuan yang belum dikuasai oleh guru. Oleh karena itu, tidak mengherankan pada era digital ini, wibawa guru khususnya dan orang tua pada umumnya di mata siswa merosot.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top